Minggu, 19 Juni 2011

Impian Sang Pemulung

Oleh : Danang Adi Wiratama
Siang yang melelahkan itu, kucoba untuk mengistirahatkan diri. Ya, aku merasa lelah sekali seusai memulung bertumpuk-tumpuk koran bekas dari rumah-rumah di perumahan. Tapi, tak apalah. Walaupun lelah aku tetap senang. Mengapa? Jawabannya adalah karena dengan banyaknya koran yang aku pulung,  itu artinya ada banyak bacaan bermutu yang bisa aku baca dan pelajari.
Kuambil satu koran dari tumpukan. Kemudian, satu per satu halaman koran pun aku baca, aku bolak-balik ke sana-kemari sampai koran tadi terlihat lusuh dan tidak rapi. Aku tidak tahu sudah berapa koran yang aku baca sampai aku menemukan sebuah berita di koran yang aku pegang. Berita itu berjudul ”Sepuluh Siswa Indonesia Raih Prestasi Dunia”. Wow! Aku pun segera membaca berita itu dengan semangat dan penuh antusias.
Di berita itu disebutkan ada empat siswa SMA juara olimpiade fisika, dua siswa juara olimpiade astronomi, dua siswa juara renang, satu siswa juara karate, dan yang paling hebat adalah ada satu siswa Indonesia yang mampu mendapat juara 1 lari jarak pendek walaupun dia cacat!  Hebat! Tak kusangka siswa Indonesia bisa melakukan itu! Tapi menurutku, yang paling menarik dari berita itu adalah ketika aku membaca sebuah kalimat dari salah seorang pelatih Indonesia demikian: ”Kita boleh berbangga dengan prestasi Indonesia. Tapi ingat, kita harus mempertahankannya dan juga meningkatkannya. Yang dicari Indonesia bukanlah orang yang luar biasa, melainkan orang biasa yang mau dan mampu melakukan hal yang luar biasa.” Itu adalah kalimat terakhir dari berita yang sedang aku baca. Dan kau tahu, setelah membaca berita itu, aku merasa di dalam diriku seolah-olah mengalir darah semangat untuk berprestasi, memberikan yang terbaik bagi bangsa ini!
 Tapi..., bagaimana caranya? Kini..., aku hanyalah seorang pemulung yang tak bisa berbuat apa-apa selain memulung. Sebagai seorang remaja, aku memang pernah berprestasi ketika sekolah dulu. Tapi, karena aku lahir dari sebuah keluarga yang tak mampu, nasib membawaku ke dalam kehidupan yang penuh kepedihan dan penderitaan. Karena itu, ketika aku membaca berita tadi, bagaikan api yang disiram bensin, dalam diriku kembali mengalir darah semangat untuk berprestasi. Hmmm..., aku berpikir sejenak.
”Apa yang akan kulakukan? Apakah aku yang hanya seorang pemulung, masih ada gunanya untuk Indonesia?” tanyaku dalam hati.  
Setelah berpikir beberapa saat sambil mondar-mandir ke sana-kemari, akhirnya aku pun menemukan jawabannya! Aku akan membeli beberapa buku pelajaran yang harus dan akan aku pelajari setiap hari sampai tuntas! Akan kubaca di mana pun dan kapan pun aku berada. Akan kubuktikan bahwa remaja putus sekolah seperti aku, pasti bisa membanggakan Indonesia ini! Tapi, sekarang permasalahannya, bagaimana aku mendapatkan buku-buku itu? Mau memulung? Itu mustahil! Tak ada seorang pun yang mau menjual buku-buku mulia itu ke pemulung seperti aku. Seumur hidupku, belum pernah aku menemukan buku pelajaran di hasil pulunganku. Tapi..., oh ya! Aku khan masih punya orang tua! Aku akan meminta mereka untuk membelikanku beberapa buku pelajaran di loakan terdekat! Yah, walaupun harus ”membeli”, sebuah kata yang paling tidak disukai di keluargaku, tapi aku yakin mereka pasti akan membelikannya untukku. Mana ada orang tua yang menolak permintaan anaknya untuk belajar?
Aku pun segera meletakkan koran-koranku yang lain di dekat timbangan. Dan sambil masih membawa berita hebat tadi, aku kemudian langsung pergi menemui kedua orang tuaku yang juga baru saja pulang dari memulung.
”Pak, Bu!” teriakku sambil mendekati mereka.
”Ada apa, le? Kok kamu kelihatan semangat?” tanya ibuku yang sedang menggendong Ami, adikku yang baru berumur satu tahun.
”Kamu habis dapet duit lagi ya, Den?” ledek bapakku sambil mengangkat tumpukan kardus yang sangat besar.
”Eeemm..., Pak, Bu, Deni boleh minta dibelikan buku pelajaran?” tanyaku langsung ke pokok permasalahan.
Mereka berdua terdiam beberapa saat, saling pandang, sampai akhirnya bapakku meletakkan kardus-kardus yang dibawanya dan mendekatiku.
”Den, Den..., kita ini sekarang hanyalah seorang pemulung. Mau makan sehari sekali saja susah, apalagi mau beli buku? Uang dari mana coba?” kata bapakku sambil menyentuh pundakku.
”Bapakmu benar, Den. Kita juga harus belajar prihatin. Sekarang, kamu lebih baik cari duit yang banyak untuk menyekolahkan Ami. Jangan sampai adikmu ini bernasib sama seperti kita yang sudah susah ini,”  tambah ibuku sambil menenangkan Ami yang mulai terbangun.
”Tapi Pak, Bu, Deni ingin belajar seperti di sekolah dulu. Deni ingin jadi pintar! Ingin berprestasi dan membanggakan Indonesia! Lihat Pak, Bu, berita di koran ini, ”10 Siswa Indonesia Raih Prestasi Dunia”!” kataku semangat sambil menunjukkan berita tadi.
”Haahhh..., le..., le..., kamu mbok ya jangan mimpi to, Den. Mereka itu orang-orang kaya, bisa beli buku apa saja. Tapi kita? Orang miskin tak mungkin mampu beli! Uang jatah kita sudah habis tak tersisa dimakan koruptor negeri bobrok ini! Katanya semua demi rakyat, tapi mana buktinya? Kapan kita bisa hidup berkecukupan?” kata Bapak dengan raut yang terlihat sedih.
”Kamu dulu di sekolah memang pintar, Den. Tapi, sekarang kamu tahu khan, setelah tidak sekolah lagi, setelah kita tidak punya uang lagi, ilmu-ilmumu itu seperti hanya..., haahh..., tak ada artinya lagi...,” kata Ibu meyakinkanku dengan sangat.
Ya, dulu aku pernah sekolah. Tapi hanya sampai SMP. Setelah itu aku..., ya, seperti sekarang ini, aku memulung. Kau tahu, dua tahun lalu, ketika lulus SMP, aku adalah siswa yang mendapat nilai rata-rata ujian nasional tertinggi di kota. Yah, karena aku anak tidak mampu, kupikir, ada seorang kaya yang mau memberiku beasiswa karena prestasiku saat itu. Tapi, ternyata tak ada. Harapanku untuk melanjutkan ke SMA, sirna sudah. Sempat aku menjadi terkenal karena prestasiku, tapi itu hanya sebentar, sangat sebentar. Setelah itu, semuanya hilang, entah ke mana. Masa depanku gelap! Aku merasa telah gagal mencapai cita-cita!
Mendengar nasihat kedua orang tuaku tadi, rautku yang semula bahagia dan ceria, sekarang menjadi kecewa, murung dan tertunduk. Nasihat mereka mungkin benar. Aku hanyalah seorang anak dari keluarga pemulung, yang hanya dan hanya bisa memulung. Entah mengapa, aku juga merasa sangat marah terhadap pemerintah. Mengapa kami sekeluarga bisa bernasib seperti ini? Ini semua karena pemerintah! Banyak dari mereka yang mengkorupsi uang kami, rakyat kecil! Aku masih ingat betul isi pasal 34 ayat 1 UUD 1945, ”Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”. Hei! Mana buktinya?   
Haaaahhhh! Lama-lama aku bisa gila memikirkan semuanya ini! Lebih baik aku pergi ke warung temanku saja untuk beristirahat, menenangkan pikiran, sambil melihat acara TV, yang mungkin akan membuatku lupa dengan semuanya ini.
 Saat itu, acara yang kutonton adalah berita. Maklum, hanya itulah satu-satunya acara TV yang terlihat jelas di TV tua 14 in itu. Bukannya mendapat hiburan, aku malah menjadi semakin kecewa terhadap pemerintah dan bahkan Indonesia. Ya, waktu itu, berita yang disiarkan lagi-lagi hanya itu-itu saja, seperti masalah korupsi, bentrokan antar warga, rencana pembangunan gedung baru DPR, penonton sepakbola yang anarkis, mafia hukum, batas negara, dan masalah lain tentang keterbelakangan Indonesia di dunia internasional. Menurutku, Indonesia itu adalah negara yang terbelakang di dunia. Indonesia pun belum mampu menyelesaikan berbagai masalah kemiskinan, kesehatan, politik, pendidikan, dan masalah ekonomi. Itu semua membuatku muak dan sakit kepala. Aku jadi berpikir, mengapa aku dilahirkan sebagai seorang Indonesia? Ingin rasanya aku pindah ke negara lain yang lebih maju, seperti Amerika Serikat misalnya.
Tapi..., yaahh, aku harus realistis. Tak ada gunanya aku marah kepada Indonesia. Itu hanya akan membuang waktu dan tenagaku saja. Toh, aku dan keluargaku juga tidak mendapat apa-apa dari Indonesia. Jadi, apa gunanya? Tapi, hmm..., aku mulai berpikir kalau aku dan keluargaku benar-benar harus berusaha sendiri untuk mengubah nasib karena tak mungkin kami menggantungkan diri kepada pemerintah yang tak bisa berbuat apa-apa.  Tapi, bagaimana mungkin aku dapat mengubah nasib keluargaku kalau aku hanya bekerja sebagai pemulung? Sampai mati pun tak mungkin! Aku harus cari cara lain untuk mendapatkan uang. Sebuah cara yang efektif dan efisien, yang tak membutuhkan banyak tenaga, dan yang sedikit persaingannya. Aku berpikir beberapa saat. Mau jadi pengamen? Terlalu banyak saingannya! Kudengar banyak kriminalitas di dalam dunia pengamen. Mau jadi tukang semir? Tidak mungkin! Atau jadi pengelap kaca mobil di lampu merah? Itu juga tak mungkin! Saat aku memikirkan semuanya itu, tanpa sadar, mataku dari tadi tertuju pada sebuah kalender usang bergambar pesawat terbang. Entah sampai kapan aku melamun ke arah kalender itu, sampai akhirnya aku sadar kalau itulah jawabannya! Ya! Sudah kuputuskan, pekerjaan baruku adalah sebagai pembantu para calon penumpang pesawat terbang membawakan barang bawaannya! Kebetulan, aku tinggal di kota besar yang juga memiliki sebuah bandara yang besar! Pasti di sana akan ada banyak orang kaya yang memerlukan jasaku!
Segera setelah itu, aku pun segera berlari dengan semangat optimis ke bandara. Sesampainya di sana, aku dikejutkan oleh banyaknya penjaga yang berkeliaran di seluruh sudut bandara. Mereka semua berbadan besar, bersenjata lengkap, dan bermuka seram, dengan alat komunikasi aneh yang ditempel di pipi mereka. Wow! Penjagaan di sini ketat sekali, pikirku dalam hati. Tapi..., apakah nyaliku akan ciut sampai di sini? Tidak sama sekali!
Satu per satu penjagaan satpam kulewati dengan taktik hebatku. Mulai dari menyusup ke keramaian sampai dengan merayap di bawah mobil di parkiran. Semuanya itu kulakukan demi mengubah nasib keluargaku. Di saat yang aman, aku pun segera berkeliling menawarkan jasaku. Dan..., yes! Ternyata banyak juga orang kaya yang membutuhkan jasaku! Hari itu menjadi hari yang paling berkesan dalam hidupku. Kau tahu, hari itu, untuk pertama kalinya aku mendapatkan uang lima puluh ribu rupiah! Sebuah jumlah yang besar menurutku.
Aku pun pulang dengan hati yang lega dan bahagia. Tak sabar aku memberitahukan ini kepada kedua orang tuaku. Mereka pasti akan bahagia dan bangga denganku!
”Pak, Bu, Deni pulang!” kataku sambil masuk ke gubug kecil tempat tinggalku.
”Dari mana saja kamu, Den? Bapak dan ibu khawatir sama kamu, kok kamu malah cengengesan?” kata ibuku setengah marah.
”Sabar-sabar! Deni pulang malam-malam begini bukan tidak ada hasilnya. Ini, lihat apa yang Deni bawa, Pak, Bu!” kataku sambil mengeluarkan uangku tadi.
”Wah, banyak sekali! Dapat dari mana kamu, le? Kamu nggak nyolong, to?” tanya bapakku penasaran.
”Ya nggak mungkin to, Pak. Deni nggak mungkin melakukan itu,” jawabku meyakinkan.
”Lha terus, gimana kamu bisa dapet uang sebanyak ini, Den?” tanya ibuku sambil menunjuk uangku tadi.
”Begini lho. Deni tadi nyoba-nyoba cari uang di bandara. Jadi, Deni tadi bantu-bantu calon penumpang mengangkat barang bawaannya. Eh, ternyata hasilnya lumayan!” jawabku dengan semangat.
”Biarpun hasilnya lumayan, tapi apa kamu yakin bisa melakukannya? Itu pekerjaan yang  berbahaya lho, Den! Kamu bisa dihukum kalau sampai ketahuan satpam,” kata Bapak menasihati.
”Khan yang penting hasilnya to, Pak, Bu. Lagipula, Deni kan sudah besar, jadi sudah bisa menjaga diri,” jawabku meyakinkan.
“Ya sudahlah, Den. Tapi, kamu harus hati-hati dan perhitungan lho!” kata bapakku dengan penuh wibawa.
”Pokoknya yang penting kamu cari uangnya dengan cara yang halal, Den!” kata ibuku menasihati.
”Deni berjanji!” jawabku dengan penuh percaya diri.
Esoknya, dengan penuh semangat aku bangun dan kemudian langsung pergi ke bandara untuk menjalankan tugas baruku ini.
Satu per satu penjagaan satpam kulewati dengan taktik hebat khasku. Setelah beberapa saat, akhirnya aku sampai juga di kerumunan para calon penumpang. Aku pun segera melakukan aksi berbahayaku. Kulihat ada seorang kakek yang memanggilku.
            “Ke sini, Nak! Tolong bantu Kakek!” seru kakek itu memanggilku.
            Aku melirik sedikit ke arah kakek tua itu. Kakek itu terlihat kelelahan dengan wajah yang memelas. Dilihat dari cara berpakaian yang seadanya, aku pikir dia kakek yang miskin, sama sepertiku. Aku pun pura-pura tidak mendengarnya, dan segera pergi menjauhi kakek tua itu. Tidak lama kemudian, aku mendengar seseorang memanggilku.
            “Woi, ke sini kamu, bantu aku!” teriak seorang bapak gendut dari kejauhan.
            Aku menoleh ke arah bapak gendut itu. Bapak gendut itu terlihat sedang makan kentang goreng yang sepertinya harganya mahal. Dilihat dari cara berpakaiannya, aku pikir dia orang yang kaya. Aku pun segera menghampirinya.
            “Ada yang bisa saya bantu, Pak?” tanyaku dengan sopan.
            “Cepat bawakan barang-barangku!” jawab bapak itu membentak.
            Belum sempat aku mengangkat barang-barang milik bapak itu, ada seseorang yang mendekatiku. Namun, itu bukan orang yang memerlukan pertolonganku, melainkan seorang satpam.
            “Hei, siapa kamu? Sedang apa kamu?” tanya satpam itu curiga sambil melihat bajuku yang memang terlihat lusuh.
            “Anu Pak, anu…,” jawabku dengan gugup.
            Gawat aku tertangkap basah! Aku harus melarikan diri! Kalau tidak, aku bisa kena hukuman! Aku pun segera meletakkan kembali tas bapak gendut itu, lalu lari sekencang mungkin. Saat itu perasaanku sedang kacau sehingga bukannya keluar menjauhi bandara, aku justru berlari masuk ke arah bandara. Aku terus berlari, tak peduli ke mana aku berlari. Mulai dari ruang ke ruang, kerumunan ke kerumunan, yang penting aku dapat lolos dari kejaran satpam tadi!
            “Hei, jangan lari kau!” teriak satpam itu sambil mengejarku.
            Tak kuhiraukan teriakan itu dan aku pun tetap berlari kencang. Tanpa sadar, aku mulai berlari ke arah beberapa pesawat yang sepertinya akan segera berangkat. Kebetulan ada satu pesawat yang pintu bagasinya belum ditutup. Tanpa pikir panjang, aku pun segera masuk ke bagasi besar itu dan bersembunyi di balik tas-tas besar penumpang. Satpam itu tak akan menemukanku di sini, pikirku.  
            Aku lega dapat lolos dari kejaran satpam itu. Lebih baik, aku istirahat dulu sebelum memulai lagi pekerjaan ekstrimku. Di dalam kondisiku yang nyaris tertidur, sayup-sayup aku mendengar suara.
            “Pesawat menuju Bandara Internasional New York, Amerika Serikat segera diberangkatkan”.
             Tak lama setelah itu, tiba-tiba bagasi besar itu bergetar! Getaran yang cukup lama, dan kemudian, aku merasa berat badanku seperti berkurang. Tapi, karena kelelahan, aku tak peduli dengan semuanya itu dan aku justru tertidur di dalam bagasi yang cukup lenggang itu.
            Entah berapa lama aku tertidur. Sepertinya, aku masih tertidur sampai kudengar suara pintu bagasi yang besar sedang dibuka. Cahaya menyilaukan menampar wajahku dan udara dingin yang berbeda dengan udara panas di tempat tinggalku, menyelimutiku. Aku pun segera merangkak pelan menuju ke luar bagasi. Pemandangan aneh sudah menyambutku. Aku melihat banyak sekali orang bule dan banyak juga orang kulit hitam. Baik laki-laki maupun perempuan, sebagian besar dari mereka berbadan tinggi dan besar. Bendera yang dipasang juga bukan bendera Indonesia, melainkan Amerika. Aku kaget setengah mati ketika melihat papan besar bertuliskan “New York International Airport”!
Apa aku di Amerika? Tidak mungkin! Bagaimana bisa aku pergi ke Amerika? Ahh, paling ini cuma mimpi. Tapi…, eemm, mumpung aku mimpinya sedang di Amerika, bagaimana kalau aku mencoba untuk berjalan-jalan sebentar di dalam mimpiku ini! Wah, walaupun di dalam mimpi, aku yakin kalau perjalananku ini nanti akan sangat seru! Tapi, andai saja, ini menjadi kenyataan, pasti akan sangat menyenangkan, pikirku dalam hati.
            Sambil membayangkan betapa indah dan sejahteranya Amerika, aku keluar dari bagasi tadi. Tapi tiba-tiba, dari kejauhan, aku diteriaki oleh dua orang satpam dengan bahasa yang asing di telingaku. Mereka terlihat marah dan sekarang mereka mulai mengejarku! Ah, ini khan cuma mimpi. Tak mungkin mereka menangkapku. Aku pun tetap berjalan santai seolah menantang mereka. Tapi begitu aku melihat mereka mulai mendekatiku, aku segera terkejut melihat wajah mereka yang seolah benar-benar nyata! Untuk memastikan bahwa aku benar-benar sedang bermimpi, aku mencubit lenganku keras-keras. Dan,...aauu! Sakit!
”Haahh! Berarti ini bukan mimpi! Aku benar-benar berada di Amerika! Yes! Yes! Yes! Asyik!” seruku sambil melompat-lompat kegirangan dengan ekspresi yang tak bisa aku gambarkan.
Tapi, aku kemudian menghentikan kegiranganku setelah ingat bahwa satpam-satpam tadi juga adalah nyata!  Gawat! Aku pun segera berlari menghindari mereka menuju kerumunan orang-orang asing tadi. Ternyata di sana juga banyak satpam berkeliaran. Dengan ”jurusku”, satu per satu satpam kulewati. Tapi sayangnya aku tertangkap juga.
” Wah! Kinerja satpam di sini lebih baik daripada satpam di Indonesia,” pikirku.
            Akupun diinterogasi dengan bahasa asing lagi. Mereka terpaksa menahanku dan memborgolku, karena aku tidak mengerti bahasa mereka. Aku pun mulai berpikir lagi, bagaimana caraku keluar dari tempat menyebalkan ini dengan tangan yang diborgol? Oh, ya! Aku ada ide! Aku akan menggunakan kawat di saku celanaku untuk membuka borgol yang mengunciku ini. Setelah beberapa saat mengutak-atik borgol, aku pun berhasil keluar dari tempat itu. Dan dengan segera, aku mengendap-endap keluar dari kantor satpam dan bandara. Setelah itu, aku memutuskan untuk berjalan-jalan melihat keindahan, kebersihan, dan ketertiban Amerika.
Di jalan aku bertemu dengan banyak orang dengan muka yang menurutku selalu serius. Kucoba memberi salam ke beberapa orang, tapi, tak ada orang yang menanggapi salamku. Padahal di Indonesia, kalau aku memberi salam pada orang yang bahkan aku belum kenal sekalipun, pasti mereka akan menanggapi salamku.
”Hmm..., mengapa mereka seperti ini, ya?” tanyaku dalam hati.
            Ketika sedang berjalan-jalan, tiba-tiba aku merasa ingin kencing. Setelah mencari-cari tempat yang sepi, akhirnya, aku memutuskan untuk kencing di lorong sebuah jalan kecil yang buntu. Selesai kencing aku memutuskan untuk melanjutkan perjalananku. Tapi, tidak sampai satu detik, aku sudah dihadang oleh segerombolan pemuda berkulit hitam yang lebih hitam daripada aku. Siapa mereka ini? Mereka meneriakiku dengan bahasa asing itu lagi. Sepertinya mereka mengejekku. Daripada berurusan dengan mereka, lebih baik aku pergi dari tempat itu. Tapi, aku malah dipukuli sampai babak belur oleh mereka. Bajuku pun diambil, lalu dibuang begitu saja. Ternyata, di Amerika ada juga preman yang lebih menakutkan daripada preman-preman Indonesia, pikirku.
            Dengan kesakitan, aku melanjutkan perjalananku. Di sepanjang jalan yang pernah kulewati, banyak kutemui pengemis, pengamen, dan bahkan pencopet. Aku juga melihat sekelompok mahasiswa yang sedang berdemo di depan sebuah gedung mewah. Mereka bahkan membakar boneka presiden mereka sendiri di tengah jalan. Aksi mereka ini tentu saja menimbulkan kemacetan lalu lintas. Dalam kemacetan itu, ada beberapa pengendara mobil yang turun dari mobilnya lalu memarahi seorang polisi. Bahkan, banyak juga pengendara mobil yang tidak tertib. Mereka menerobos jalan yang sedang ditutup. Ternyata, banyak juga orang miskin dan orang yang tidak tertib di Amerika. Sama seperti di Indonesia.
            Setelah melihat semuanya itu, perutku mulai lapar dan aku pun mulai kedinginan. Aku mencoba untuk menahan rasa lapar itu. Tapi tidak bisa! Aku memutuskan untuk beristirahat di sebuah taman. Ketika aku sedang beristirahat, aku teringat dengan masakan di warung Mang Udin, tetanggaku, yang terlihat enak bila dipandang oleh orang yang kelaparan. Ingatan itu membuatku semakin lapar. Waktu itu, hari sudah semakin sore, dan perutku masih keroncongan. Aku mulai teringat pada Bapak, Ibu, dan juga Ami yang ada di kampung. Tanpa sadar aku mulai meneteskan air mata.
            Tiba-tiba, ada tangan hangat yang menghampiri kepalaku. Juga suara ramah yang pernah aku dengar sebelumnya.
            “Nak,” kata orang itu pelan.
Astaga! Begitu aku menolehkan mukaku ke belakang, kulihat kakek yang pernah kujumpai di bandara!
            “Kakek? Mengapa kakek ada di sini?” kataku sambil mengusap air mata.
            “Seharusnya, Kakek yang bertanya seperti itu. Mengapa kamu ada di sini, Nak?”
            “Itu panjang ceritanya, Kek. Yang pasti, saya tidak sengaja masuk ke dalam pesawat yang menuju ke Amerika. Awalnya saya senang berada di negara ini. Saya pikir keadaan Amerika lebih baik daripada keadaan Indonesia. Ternyata sama saja. Malah sekarang saya rindu dengan keadaan di Indonesia,” jawabku panjang lebar.
            “ Ha…ha…ha! Begitu ya! Ya sudah, yang penting, kamu harus makan dulu di rumah Kakek, kamu terlihat lesu begini. Kamu lanjutkan ceritamu di sana saja, ya!” tawar kakek itu dengan setengah tertawa.
            Sesampainya di rumah kakek itu, aku langsung disuguhi dengan hidangan ala Indonesia yang sudah menyatu dengan lidahku. Di sana, kami bercakap-cakap dengan akrab.
            “Kek, tidak pantas saya menerima semua kebaikan kakek ini. Sedangkan saya belum melakukan apa pun untuk kakek. Saya juga menolak permintaan Kakek untuk membawakan barang-barang Kakek. Mengapa Kakek melakukan semuanya ini?” kataku dengan nada menyesal.
            “Sudahlah, tidak usah dipikirkan. Anggap saja ini pesta perkenalan. Oh, ya, dilihat dari pembicaraanmu di taman tadi, sepertinya, kamu awalnya tidak suka dengan negara kita, Indonesia, ya? Mengapa?” tanya kakek itu penasaran.
            “Ya, memang benar, Kek. Itu semua berawal dari kondisi ekonomi keluarga saya yang sangat memprihatinkan. Saya pikir, mengapa saya dan keluarga bisa seperti ini, semua adalah karena pemerintah. Banyak dari mereka yang mengkorupsi uang rakyat kecil, seperti saya ini, kek. Di acara berita di TV pun juga disampaikan demikian. Mereka memberitakan betapa buruknya pemerintahan di Indonesia. Masalah kemiskinan, ekonomi, ketertiban, korupsi, dan bencana alam masih belum dapat ditangani oleh Indonesia. Sejak saat itu saya mulai kecewa dengan Indonesia,” jelasku sambil meneguk teh hangat.
            “Kalau kamu menganggap Indonesia seperti itu, kamu sama saja dengan anak yang durhaka kepada orang tuanya sendiri. Kamu tahu, orang Amerika, dan bahkan dunia, malah menganggap Indonesia sebagai salah satu negara hebat di dunia. Apakah kamu tahu bahwa di balik kelemahannya itu, Indonesia memiliki begitu banyak kelebihan? Kebudayaannya yang begitu beragam, wilayahnya yang sangat luas, sampai-sampai negara lain ingin memilikinya. Hutannya, hewannya, tumbuhannya sangat beraneka rupa. Makanannya, sumber gizi dunia. Tempat wisatanya, surga dunia. Dan keramah-tamahannya terkenal sejak dahulu kala. Kamu tahu, batik Indonesia sangat populer di Amerika. Banyak orang rela mengeluarkan banyak uang hanya untuk sepotong baju batik dari Indonesia. Hei! Kamu sendiri sebagai warga negara Indonesia juga seharusnya bangga kepada bangsamu sendiri!” jelas kakek itu meyakinkan.
            Aku terdiam sejenak memikirkan ucapan kakek itu. Tak tahu mengapa, air  mataku kemudian mulai menetes. Wah, aku sendiri sebagai warga Indonesia belum memikirkan sampai sejauh itu! Ternyata, selama ini, aku telah bersikap salah terhadap tanah air dan bangsaku sendiri! Kini, aku harus berubah.  Aku harus bangga menjadi bangsa Indonesia. Aku sungguh berharap, Indonesia dapat bangkit dari keterpurukan dan ketertinggalannya dari bangsa lain. Tapi yang terpenting, dari sini aku dapat belajar, bahwa aku, tak akan lagi berpikir tentang apa yang bisa aku dapatkan dari Indonesia, tapi apa yang dapat aku berikan, yang terbaik,  bagi bangsa Indonesiaku. Karena itu, aku harus tetap optimis, dan aku bertekad, tak akan pernah letih untuk mencintai Indonesia.
           
                                                                                                                

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More