who am I?

Danang Adi Wiratama adalah arsitek yang ada di balik layar ARSITEKETEK.

my brother

duta.

me and my gun

smile to my gun and I'll shot you

Nikon D3100, Beauty in Intelligent

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

danangphotography_

"foto berwarna memanjakan mata, foto hitam-putih memanjakan jiwa"

Jumat, 30 Desember 2011

“Let my lens becomes your eyes…”


Lihat…

Bidik…

Eksekusi…

danangphotography_

Jumat, 23 Desember 2011

Karena Tuhan Yesus

 ...berdasarkan kisah nyata yang aku alami sendiri...


Gambar koyo ngene iki tok kok iso menang?” (Gambar kayak gini doang kok bisa menang?)

Itulah kalimat pertama yang muncul pas aku nyodorin posterku yang berhasil jadi juara di Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) pada teman bapak yang adalah pelukis. Ya, sebetulnya sih nggak hanya beliau aja yang ngomong kayak gitu, tapi temen-temenku (mereka yang gokil dan jujur dalam berpendapat. hehe) juga ngomong kayak gitu. Bayangin aja, cuma gambar tikus makan apel bergambar peta Indonesia doang, kok bisa ya jadi juara? Yah, siapa lagi kalau bukan karena Tuhan Yesus? J

Gambar tikus-apel itu sudah ada dalam kepalaku kira-kira tiga bulan sebelum lomba nasional dimulai. Persisnya, ketika guru seni rupaku, Pak Hadiyanto menyodorkan kata “korupsi” sebagai tema dalam lomba, langsung aja pikiranku terisi penuh dengan tikus, tikus, dan tikus! Ya, yang jelas aku seneng banget bisa jadi wakil SMAN 1 Salatiga ikut lomba seni. Jelas aja, waktu itu, temen-temenku udah pada ikutan olimpiade fisika, matematika dan sejenisnya, sedangkan aku lagi (selalu) sepi job. Maklum, kala itu nilai pelajaranku pas-pasan dan  ngandalin banget piagamku lomba gambar biar bisa masuk SMAku itu. Hehe.

Pas aku tanya ke Pak Hadi soal level lomba poster yang bakalan aku ikutin, beliau jawabnya aku bakal LANGSUNG mewakili kota Salatiga (tanpa seleksi!) di lomba poster tingkat Jeteng barengan dengan cabang lomba seni lain. Dia juga ngomong kalo aku menang di tingkat provinsi, aku bakalan langsung ke nasional, coy! Waktu itu aku cuma bisa bilang makasih bangat sama Tuhan karena udah di beri peluang dengan bonus kemudahan gak perlu seleksi tingkat kota. Aku masih inget targetku waktu itu cuma sebates pengen dapet piagam provinsi (maklum sebelumnya perjuangan selalu kandas di tingkat kota). Dan untuk maju ke tingkat nasional, menurutku itu jelas mimpi di siang bolong!

Dalam bikin konsep gambar, aku dibantu Pak Hadi dan Pak Pramono R. Pramoejo, seorang kartunis senior Indonesia yang udah aku anggep guruku sendiri. Singkat cerita, akhirnya dipilih konsep gambar tikus raksasa makan apel bergambar peta Indonesia dengan format kertas landscape (mendatar), sebuah format kertas yang jarang dipakai dan bahkan dihindari oleh para pembuat poster pada umumnya. Aku inget, alesanku menggunakan format ini adalah karena itu unik dan aku pengen tampil berbeda dari karya-karya yang lain (dasar anak muda=..=).

Satu hal yang ingin aku tonjolin dalam posterku itu adalah kesederhanaan. Sama Pak Pramono, aku diajarin bahwa inti dari sebuah poster itu adalah tentang gimana sebuah poster bisa ditangkep pesennya secara tajem, jelas, dan cepet. Kalok kayak gitu intinya, syarat kesederhanaan dalam sebuah poster adalah hal penting biar hal-hal tadi bisa tercapai. Nah, itulah dasar mengapa aku cuma gambar tikus dan apelnya doang.

Tikus raksasa menggambarkan korupsi yang masih menggerogoti negeri ini. Lalu apel bergambar peta Indonesia menggambarkan negeri ini yang sedang digerogoti korupsi. Aku sengaja gambar ukuran tikus jauh lebih besar dari ukuran apel untuk menggambarkan gedenya kasus korupsi yang melanda negeri ini, yang kalok terus dibiarin bakal bikin negeri ini habis tak tersisa (bahasanya keren banget!).

“Selamatkan Indonesia dari Korupsi!!!” akhirnya jadi kata pilihanku semata-mata untuk mempertajam makna yang terkandung dalam posterku. Untuk ngasih kesan “tegas” aku pakai salah satu jenis huruf yang ada di lepy reotku yaitu Stencil, semacem gaya tulisan yang dalam film yang pernah kutonton, sering digunakan dalam dunia militer untuk ngasih keterangan di kotak persenjataan dan peringatan batas wilayah. Warna tikus yang hitam, kontras dengan warna merah menyala sebagai background utamanya dibuat untuk mendukung kesan garang dan tegas dari poster ini. Jadi secara tegas aku pengen ngasih pesen bagi penikmat poster ini buat segera dan saat ini juga memerangi korupsi yang bila terus-terusan ditunda atau bahkan dibiarkan penanggulangannya bakal (pasti) bikin negeri ini ludes tak tersisa!!! Hahaha!!! (tawa jahat)

Bermodal konsep kayak gini dan kuas plus cat pinjeman dari Pak Pramono, akhirnya dengan mantap aku ikut seleksi lomba poster tingkat Jawa Tengah di LPMP Semarang. Di lomba yang berlangsung selama 5 jam itu, banyak yang membuat aku beda dari peserta lain. Aku adalah satu-satunya peserta dengan peralatan paling minim (udah minim, pinjem lagi =..=), aku adalah satu-satunya peserta yang milih landscape jadi format kertas, dan aku juga adalah satu-satunya peserta yang nggak istirahat untuk makan dan minum saat menggambar dalam kertas berukuran kira-kira 60 X 50 cm untuk waktu 5 jam!

Kebetulan waktu itu (waktu lomba) pas hari Jumat dan lombanya kepotong sama jam buat sholat Jumat. Peserta yang mau jumatan diperbolehkan meninggalkan lomba posternya sementara yang nggak sholat boleh makan-minum ato apa kek. Berhubung aku Kristen, aku kan nggak ikut jumatan, tapi aku juga nggak ikutan makan-minum, lanjuut aja ngerjain posternya (biar nanti bisa dapet perpanjangan waktu kayak peserta lain.hehe). Emang dasar lemot, udah dapet perpanjangan waktu, ee masih aja aku jadi peserta terakhir yang selesai. Tapi untung Tuhan sempat memuaskan “dahaga”ku. Ternyata yang jadi peserta terakhir itu ada 2 orang. Aku sama seorang peserta cewek yang cakep banget. Emang dasar nasib, kondisi waktu itu bener-bener sepi, dan panitianya sebelum pergi cuma bilang “nanti posternya taroh kantor ya”. Kebetulan kami bisa nyelesaiin poster bareng (aku yang nyama-nyamain waktunya biar bareng.hehe), terus kami kenalan lalu bersihin kuas bareng di keran deket taman (mengambil kesempatan dalam kesempitan).

Balik lagi ke topik utama, awalnya aku sempet pesimis bisa menang di lomba seleksi ini. Kepesimisanku bertambah waktu aku sadar gak ada ada orang yang tertarik lihat posterku, karena mereka lebih memilih untuk melihat poster karya peserta lain yang (jujur) menurutku lebih bagus, rapi, dan rumit. Tapi lomba adalah lomba, dan hanya juri (dan Tuhan tentunya) bukan penonton yang menentukan hasilnya. Aku mencoba untuk berpegang teguh pada konsep kesederhanaanku.

Pas lagi galau-galaunya bakalan menang apa enggak, temenku peserta lain (kalo gak salah dari Ungaran), tiba-tiba nyamperin. Aku kaget setengah gak percaya waktu dia bilang dia ngintip proses penjurian dan melihat poster buatanku ada di posisi pertama! Merasa gak begitu percaya, waktu pengumuman lomba, aku cuma pakai kaos, celana pendek plus sandal jepit. Ee.., ternyata Puji Tuhan, usaha dan kepesimisanku selama ini akhirnya terbayar setelah aku akhirnya berhasil memenangkan seleksi FLS2N tingkat Jawa Tengah itu! Bayangin aja seorang remaja berkaus dan celana pendek plus sandalan maju ke podium utama di gedung LPMP yang menurutku udah kaya gedung DPR itu. Aneh bin malu-maluin, kan? Biarin, yang penting menang. Hehe. Waktu inget kalo aku masih bakalan mewakili Jawa Tengah dalam Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional di Surabaya, aku cuma bisa tutup mata dan mengucap syukur pada Tuhan Yesus! :D

Untuk mempersiapkan diri, aku terus dilatih teknik menggambar oleh Pak Furqon Amin (juga guru seni rupa di SMAku) di sekolah. Penempaan diri tidak hanya kandas di sekolah, tapi juga di luar sekolah. Aku tambah sering dateng ke rumah Pak Pramono untuk meminta saran atas poster yang sudah dan akan aku buat. Akhirnya, aku memilih untuk menggunakan konsep tikus (lagi) untuk aku gunakan dalam lomba tingkat nasional. Tapi kali ini bukan tikus makan apel tapi tikus besar yang lagi diketapel oleh penegak hukum yang digambarkan sangat kecil. Konsep ini mengandung arti bahwa kinerja penegak hukum masih kurang garang daripada kasus korupsi yang ditanganinya. Selain konsep gambar, hal lain yang aku rombak adalah amunisi, aku memutuskan untuk beli kuas dan cat yang harganya agak ehem.., dengan menggunakan uang yang diberikan oleh sekolah, hehe. Aku berharap dengan persenjataan ini, aku bisa menghasilkan gambar yang lebih baik dari sebelumnya (ya minim bisa punya kuas berkualitas kalo gak menang lomba tingkat nasional laahh, hehe).

Empat hari sebelum berangkat ke Surabaya, aku sama temen-temen dari cabang lomba seni lain, di karantina di LPMP Semarang. Di sana kami mendapat semacam pengarahan dan bimbingan motivasi agar kami yakin dengan diri kami sendri bahwa kami bisa memberikan yang terbaik.  Di sana, kami juga berlatih menekuni dan mempersiapkan cabang lomba masing-masing. Ada yang sama guru pendamping, ada juga yang belajar sendirian (kayak aku). Tapi anehnya, semakin aku berlatih, bukan rasa puas yang muncul, melainkan keraguan atas konsep baru tikusku. Aku mikir kalok konsep lama tikusku jauh lebih “mengena”. Setelah mengalami keraguan yang cukup lama, akhirnya dengan berani aku memutuskan untuk kembali pada konsep pertamaku yaitu tikus makan apel.

Di Surabaya, kami bertemu dengan seluruh perwakilan dari 33 privinsi di Indonesia. Aku ngerasa ada suatu kebanggaan tersendiri bisa ketemu dan bahkan berlomba dengan mereka yang terbaik dari setiap daerahnya. Perna juga aku iseng tanya sama Tuhan: Tuhan, mengapa Engkau membawaku hingga ke tempat ini? Mengapa engkau membawaku hingga saat ini? Apa ada tujuan di balik semuanya ini, Tuhan?

Acara di hari pertama adalah upacara pembukaan FLS2N oleh gubernur Jawa Timur, Pak Soekarwo. Acara pembukaan berlangsung sangat megah dan meriah. Penampilan yang disajikan pun sungguh memukau. Jajaran artis hingga kaum difabel bergantian menampilkan talentanya di atas panggung indoor yang megah. Kemudian, setelah bersenang-senang di hari pertama, acara kedua adalah technical meeting oleh juri dari setiap cabang lomba. Pada saat pengarahan, sungguh di luar dugaan, juri dengan tegas mengatakan akan menolak poster yang akan digambar di kertas berformat landscape! 

Mungkin bagi peserta lain ini bukan masalah karena mereka sudah berlatih dengan format portrait, tapi bagiku yang berlatih dengan format landscape? Ini bencana! Aku ragu apakah aku bisa segera mengubah posterku dalam waktu satu malam mengingat waktu itu jam udah menunjukkan pukul 8 malam dan lomba akan dilaksanakan esok paginya! Saat itu juga aku tanya sama Tuhan: “Tuhan, mengapa harus seperti ini? Mengapa masih ada jurang menganga ketika perlombaan ada di depan mata? Apa maksud-Mu dengan ini?” Di dalam kekhawatiran, tiba-tiba aku kembali inget sama Tuhan Yesus yang udah bawa aku ke tempat ini. Aku inget Dia pernah bilang: “Janganlah kuatir akan hidupmu…”. Lalu, entah mengapa (nggak kaya biasanya) aku jadi nggak khawatir lagi, dan percaya bahwa “jalan” itu ada dan disediakan buat aku.

Tanpa pikir panjang, dengan segera aku menemui Pak Furqon untuk mendiskusikan masalah ini. Beliau mencoba menenangkan saya, dan kemudian saya di latih beliau di Masjid terdekat. Bayangin aja ada orang malem-malem bawa alat-alat gambar lengkap ke masjid. Aneh banget! Hahaha! Setelah tiga jam meminta pengarahan kilat, akhirnya aku berhasil menemukan konsep baru posterku, gambar tikus dan apelnya dalam format landscape. Masalahnya satu hal, karena konsep kertasnya berubah, aku jadi masih agak kaku gambarnya. Waktu di latih Pak Furqon, widih.., banyak banget itu yang namanya serpihan penghapus. Hapus sana, hapus sini. Baru tarik garis aja udah salah. Hapus lagi… Pak Furqon memintaku untuk beristirahat mempersiapkan kondisi fisik dan mental mengingat jam udah nunjukin pukul 23.00. Pas aku tanya kok Pak Furqon gak ikutan balik, beliau jawab kalo beliau mau sholat 1 malam (tahajud ato apa ya namanya?) biar aku pas lomba di beri kekuatan!

Bayangin aja gimana perasaan kalian ketika guru kalian sendiri langsung turun tangan secara total mendukung kita dari persiapan lahiriah sampai batiniah kayak gitu. Bakal salut banget kan? Aku jadi ngerasa nggak enak sama Pak Furqon yang selama ini aku nganggep dia sebagai guru yang (sori) agak freak, ternyata sebenernya punya sifat bersahaja. Setelah kembali ke kamar, hal pertama yang aku lakuin bukan tidur tapi latihan. Waktu itu, kami yang laki-laki disendiriin jadi satu kamar, dan yang cewek juga. Aku inget yang lain udah pada tidur semua sementara aku baru pulang dari latihan, dan masih akan nglanjutin latihan. Aku ulangin lagi gambar-gambar hasil ajaran Pak Furqon tadi. Tapi rasanya tetap sama, sulitnya minta ampun! Dikit-dikit salah. Dikit-dikit salah. Di dalam pergumulanku yang seperti itu, tiba-tiba ada sms masuk. Ternyata dari bapak. Bunyi smsnya kurang lebih kayak gini:

“Dan segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan atau perbuatan, lakukanlah semuannya itu dalam nama Tuhan Yesus, sambil mengucap syukur oleh Dia kepada Allah, Bapa kita.”-Kolose 3:17-
“Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.”-Kolose 3:23-

SMS itu seakan jadi kekuatan baru buat aku. Jadi semangat, optimis tapi tetap berserah sama Tuhan. Kekhawatiran akan konsep gambarku seakan lenyap, dan yang ada hanyalah satu kata, PERCAYA. Yah.. dini hari, 16 Juni 2010 , ketika aku akhirnya bisa tidur nyenyak di Surabaya.

Esok harinya ketika lomba, aku heran mengapa dengan sekali gores aku bisa menciptakan konsep gambar yang baru berumur sembilan jam itu. Padahal waktu latihan terakhir, masih banyak goresan salah yang aku buat dan banyak penghapusan kesalahan di sana-sini. Waktu 5 jam yang di sediakan panitia terasa berjalan seperti hanya 15 menit. Begitu cepatnya sehingga sampe aku nggak sadar kalok aku kembali jadi peserta terakhir yang menyelesaikan lomba ini (dasar lemot)! Yah berhubung aku satu-satunya yang masih tersisa di menit-menit terakhir lomba, aku jadi bahan tontonan orang banyak. Mulai dari peserta dari daerah lain, orang yang cuma lewat, sampai penjual siomay pun meninggalkan grobak siomaynya. Ada juga fotografer yang selalu membidikkan lensa putihnya yang gede ke arahku. Bikin tambah grogi coy! Hahaha! Tapi ada satu yang gak pernah melihat dan bahkan melirik ke posterku, dia adalah dewan juri. Padahal juri keliatan asyik keliling-keliling ngelihat karya poster dari daerah lain sedangkan aku beberapa kali cuma dilewati begitu aja. Waduh! Apa ada sesuatu yang salah?
Kegiatan di hari keempat bagi lomba poster adalah acara evaluasi karya oleh juri. Pada acara yang digelar di salah satu SMA di Surabaya itu, juri menyodorkan beberapa poster hasil karya para peserta hari sebelumnya dan memberikan beberapa masukan dan kritik yang membangun. Dan ketika sampai pada saat juri mengangkat poster karyaku, anehnya juri nggak mengatakan kritik apapun terhadap karyaku itu! Suasana ruangan yang berisi 33 peserta dan 3 dewan juri tiba-tiba menjadi hening. Pikiranku menjadi kacau dan memikirkan seolah-olah karyaku tadi udah terlalu “ancur” untuk sebuah karya seni yang dinamakan poster. Keraguanku semakin kuat mengingat (sekali lagi) posterku adalah yang paling simpel dibanding 32 poster dari provinsi lain. Apakah juri akan memilih “simpel” yang cuma satu ini dibandingkan 32 karya hebat lain? Apa mungkin “simpel” yang menjadi kukuatanku selama ini tak berlaku di lomba tingkat nasional?
Esok harinya adalah saat-saat paling mendebarkan dalam hidup. Dua kata yang kalau jujur dan tanpa gengsi berarti segalannya, menang dan kalah. Namun sekali lagi, Tuhan bukan pembantu yang bisa dengan mudahnya disuruh-suruh untuk nurutin kehendak kita. Yang kita lakukan “hanya” berserah kepadaNya. Persis ketika aku nunggu pengumuman hasil lomba poster tingkat nasional. Awalnya aku merasa kecil di antara “yang terbaik” dari masing-masing daerah. Siapa aku di sini? Itu pertanyaan yang selalu terngiang di otakku. Target tertinggiku yang mungkin bisa aku raih adalah juara 3 lomba poster tingkat nasional. Sebuah lelucon konyol yang jelas hanya bikin ketawa. 
Namun sekarang, aku merasa benar-benar ini adalah “waktuku”. Ini adalah waktuku untuk menunjukkan bahwa aku punya Tuhan yang luar biasa hebat bernama Yesus. Bukan juara 2 atau 3, tapi juara 1. Pikiranku kembali membayangkan seakan seluruh teman-teman sekolahku, orang tuaku, teman gerejaku, tetangga-tetanggaku, dan seluruh dunia sekarang sedang berteriak menyemangatiku. Tak ingin aku mengecewakan mereka. Oke, jujur, aku pun mencurahkan seluruh isi hati waktu itu dengan bernyanyi pelan di antara kegilaan mereka yang sedang menantikan medali emas.
Terkadang kita merasa
Tak ada jalan terbuka
Tak ada lagi waktu
Terlambat sudah
Juara 3 Lomba Poster tingkat Nasional dipanggil, itu bukan aku! Dalam hati aku berterimakasih pada Tuhan karena aku yakin Dia akan memberikan yang lebih baik dari juara 3! Dengan yakin kulanjutkan nyanyiku.
Tuhan tak pernah berdusta
Dia slalu pegang janjiNya
Bagi orang percaya
Mukjizat nyata
Juara ke-2 dipanggil, itu bukan aku! Kali ini aku yakin sama Tuhan, Dia punya rencana di depan sana! Temen-temenku sekontingen pada numpangin tangan di kepala dan pundakku dan itu membuatku merasa nggak sendirian. Aku nglanjutin nyanyi dengan suaraku yang semakin berat nahan air mata sementara gegap gempita orang-orang terdengar semakin keras.
Dia mengerti
Dia perduli
Persoalan yang sedang terjadi
Dia mengerti
Dia perduli
Persoalan yang kita alami
Tumpangan tangan temen-temenku terasa semakin menekan sementara aku masih tertunduk dan menyanyi. Detik itu juga 100% aku percaya aku bakalan menang jadi juara 1!

Namun satu yang Dia minta
Agar kita percaya sampai mukjizat
Menjadi …
 “Dan juara 1 Lomba Poster Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional 2010 adalah…
Nyata…
DANANG ADI WIRATAMA dari SMA N 1 Salatiga, Jawa Tengah!!!
Temen-temenku sekontingen udah kayak jadi “gila” waktu namaku dipanggil. Mereka mulai merangkul, memukul, dan mengacak-acak rambut ikalku. Sungguh kontras dengan sikapku yang hanya dari tadi tertunduk. Air mataku yang sepertinya nggak terbendung, dengan sekuat tenaga aku tahan. Maklum, belum pernah seumur hidup nangis waktu lomba,coy! Mencoba melangkah maju ke atas podium utama dengan kaki gemetar dan mata merah, akhirnya mimpiku dari kecil untuk mendapat medali emas kini tercapai, karena Tuhan Yesus…
Salatiga, 24 Desember 2011

Senin, 12 Desember 2011

Lomba Poster, dengan Hadiah Superrr!

SMA N 1 Salatiga kembali ngadain Program Pendidikan Karakter yang dilaksanakan dalam 1 minggu (tanggal 12 sampai 17 Desember 2011)—promosi sekolahku,hehe. Pendidikan karakter adalah semacam pelatihan bagi siswa biar nggak hanya punya otak encer tapi juga moral tok cer (baik akhlaknya maksudnya). Seenggaknya ada 9 pilar pendidikan karakter yang musti kita perhatiin.  Pilar tersebut adalah cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya, tanggung jawab, kedisiplinan dan kemandirian, kejujuran, amanah dan diplomatis, hormat dan santun, kasih sayang, kepedulian, dan kerja sama. Lalu, percaya diri, kreatif, kerja keras dan pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan, baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai dan persatuan. Kemudian, ada pula K4 (kesehatan, kebersihan, kerapian dan keamanan).
Balik lagi ke topik awal, acara-acara dalam seminggu pendidikan karakter di SMAN 1 itu meliputi, workshop penelitian karya siswa, lomba karya tulis, lomba poster, dan bahkan kampanye pendidikan karakter di markas militer 411. Di sini, berhubung saya kebagian jadi panitia lomba poster, saya akan menjelaskan ketentuan teknis lombanya, hehe.
WAKTU   : 15 Desember 2011, jamnya kira-kira jam 09.00 (on time, amin!)
TEMPAT : SMAN 1 Salatiga (rungan kelas—informasi nyusul,hehe)
PESERTA : Siswa SMAN 1 Salatiga kelas X dan XI
TEMA---tentang pendidikan karakter( Pilih salah satu ) :
1. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah  kepribadian bangsa Indonesia. 
2. Mari kita bentuk pribadi kita yang beriman,  cerdas, berwawasan luas,  terampil, disiplin, dan berbudi mulia. 
3. Para pahlawan telah membebaskan bangsa dari  penjajahan, kita dituntut untuk membebaskan bangsa dari kebodohan dan  ketergantungan. 
4. Pelajar hari ini menentukan corak bangsa hari  esok. 
5. Pengurasan alam sekarang akan menyengsarakan  generasi yang akan datang. 
6. Semakin besar potensi seseorang dengan moral  rendah semakin besar menimbulkan kerusakan lingkungan. 
7. Moral pelajar sekarang akan membentuk moral  bangsa dan negara yang akan datang. 
8. Kerusakan fisik bisa dilihat, kerusakan moral  susah dideteksi dan susah diperbaiki.
9. Budipekerti tertinggi adalah budipekerti kepada  Tuhan Yang Maha Esa.

KETENTUAN
1. Kertas ukuran A3 disediakan panitia. 
2. Perlengkapan menggambar bebas. 
3. Teknik yang digunakan bebas (kecuali tempel menempel) dan harus diwarnai.  
4. Lama pengerjaan 3 jam. 
5. Seluruh karya akan dipamerkan Sabtu, 17 Desember 2011.    

TOTAL HADIAH : Rp 450000,00  !!! (Pengumuman tanggal 16 Desember 2011)

Buat catetan, siswa kelas X dan XI yang memilih program senirupa WAJIB mengikuti lomba ini. Bagi siswa yang tidak mengikuti program senirupa tapi berminat mengikuti lomba, diperbolehkani.                         


Untuk lomba ini, penilaian diputuskan oleh dewan juri dan tidak bisa diganggu gugat, dan karya terseleksi menjadi dokumen sekolah. Oh ya satu lagi, semua hasil karya kalian yang ikut lomba poster akan dipamerkan pada tanggal 17 Desember 2011, di sepanjang koridor SMAN 1 Salatiga. Entah kebetulan atau apa, pameran dilaksanakan berbarangan dengan pengambilan rapot semester 1 oleh orang tua kalian, jadi bagi yang ikut lomba, gambar posternya yang bagus ya (kan dilihat orang tua kalian?hehe). Siapa tahu kalo misal (semoga enggak) rapot kalian jelek, dan kalian menang lomba ini, orang tua kalian bakalan nggak jadi marahin kalian, dan kalian pun bisa menutup tahun 2011 ini dengan senyuman…(wediiaann)

Minggu, 11 Desember 2011

Yes! (akhirnya) Kartunku Masuk Koran!


Hobi gambar dari kecil,.. ee.., nggak taunya keterusan sampe sekarang. Pernah beberapa kali ngirim karya ke koran, dan puji Tuhan! Diterima!(walau banyak juga yang nggak diterima) Ini dia yang diterima di koran (terutama di Sinar Harapan, koran sore di Jakarta). Mohon kritiknya ya!

janji boleh manis, prakteknya juga harus manis dong!


krisis ekonomi global cengkram dunia!
bulan desember langka LPG? mintak ke sinterklas aja!

Posterku: "Selamatkan INDONESIA dari TERORISME!"




Karena buat lomba, terpaksa buat poster pake CorelDRAW (biasanya 100% manual). Yaahh.., walau belum menang, tapi yang penting ilmu CorelDRAWnya udah nyantol di otak duluan, hehe. Maksud poster ini adalah pengen nyampaiin bahwa negeri kita ini seolah udah masuk sasaran teroris (lihat gambar: bom bergambar peta Indonesia dipegang tangan teroris), nah kita sebagai warga negara yang baik harus siap mematikan "api teroris" (lihat gambar: percikan api bom yang di pegang teroris), sehingga negeri kita ini nggak hancur berkeping2 (kan peta Indonesia ada di bomnya).hehehe.. Mohon kritik dan sarannya ya!

Sabtu, 10 Desember 2011

7 Jurus Ampuh Membuat Poster


Poster. Kamu pasti kenal soal hal yang satu ini, kan? Di koran, di jalan, di kantor, rumah sakit, sekolah, atau bahkan di pos gardu tempat para hansip tidur, seolah menjadi tempat favorit buat nampilin karya seni yang satu ini. Ya.., dunia ini penuh dengan poster! Pasti ada alasan khusus mengapa poster begitu meng-influent bumi kita ini. Yap, jawabannya tak lain dan tak bukan adalah karena poster merupakan media yang sangat efektif untuk berkomunikasi! Mungkin masih banyak yang nganggep tulisan adalah media komunikasi terbaik saat ini. Lalu banyak juga yang nganggep gambarlah sarana komunikasi yang terbaik (mereka bilang gambar bisa berbicara lebih dari 1000 kata). Dan, apa kalian tau kalok dua kekuatan besar tadi disatukan? Pinter! hasilnya… tarraaa.. P.O.S.T.E.R.!!! (yeah!)
Nggak hanya para seniman gondrong, atau ahli yang bisa manfaatin dua kekuatan terbesar tadi, tapi kita, orang biasa yang bla..bla..bla.., dan bla.., bisa dapetin dua kekuatan super itu! Gimana caranya??? Oke, nggak cuma jago kotek, ARSITEKETEK punya jurus ampuh yang langsung bisa buat praktek!!! Gini caranya :
1.     Tentuin Tema
Tema adalah hal pokok yang menjadi dasar tentang bagaimana poster yang akan kalian buat. Contoh tema adalah: korupsi, pendidikan, global-warming, dll.
2.     Tentuin Pesan
Setelah tema, jangan lupa tentuin pesan (tentunya ya yang ada hubungannya sama tema). Mulailah dengan pertanyaan yang kira-kira kayak gini: “Gue mau nyampaiin pesan apa ya lewat poster ini?”
3.     Tentuin Target
Habis itu, kalian juga harus menentukan sasaran dari poster kalian. Bisa anak-anak, remaja, dewasa, mbah-mbah, tukang, pejabat, penjual sayur, atau para supir angkot juga bisa jadi target sasaran poster kalian.
4.     Tentuin Konsep
Ijin pamer posterku yang karena BERKAT TUHAN,
tahun 2010 yang lalu bisa dapet medali emas di
Festifal dan Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N)
Sederhana ya?





Konsep di sini ngomongin tentang gimana gambar, tulisan, dan warna yang akan kalian gunakan di dalam poster kalian.
5.     Tentuin Gambar
Gambar dalam poster itu sebaiknya sederhana, simple, dan jangan rumit-rumit atau detail. Sederhana tapi menarik, itulah poster.
6.     Tentuin Tulisan
Gambarnya sederhana, tulisannya juga harus sederhana! Maksudnya tulisan dalam poster harus berisi kalimat yang padat, singkat, efektif, dan satu lagi.., menusuk! (uhuk)
7.     Tentuin Warna
Jangan sampai poin di atas menjadi sia-sia cuma gara-gara salah pilih warna. Warna yang digunakan bebas, tergantung dari “suasana” dan “aura” apa yang pengen kalian keluarin lewat poster kalian. Dan untuk warna background, sebaiknya jangan “ngalahin” warna gambar utama dan tulisannya.
Well, itu tadi trik maut bikin poster dari ARSITEKETEK. Inget, poster itu:
1.       Sederhana dan menarik
2.       Punya pesan yang kuat
3.       Dapat pahami maksudnya secara cepat
Kalok ketujuh jurus maut tadi bener-bener di perhatiin dan dijalanin, niscaya anda akan bisa bikin temen anda melongo takjub, bikin guru senirupa anda terpaksa ngasih poin tinggi, dan bikin masyarakat luas ter-doktrin dengan poster anda! So, siap praktek?

Jumat, 09 Desember 2011

Sebuah Kepalsuan


Oleh: Danang Adi Wiratama
“Ketika pendidikan diselenggarakan dengan kepura-puraan, manipulasi,
bahkan kebohongan, tragedi kehidupan akan segera lahir”
(Shidarta Susila, Kompas, 25 November 2011)

Krrriiiiiiiiiiiiiiiiiinnggg!!! Bel masuk sekolah yang berdering memekakkan telinga sudah kudengar dari kejauhan. Beberapa siswa terlihat berlarian, dan yang lain mempercepat laju kendaraannya demi sebuah celah di gerbang sekolah yang hampir tertutup, tak terkecuali aku. Ya, hari itu seperti biasanya aku terlambat masuk sekolah, sebuah SMA favorit di kota kecil, Salatiga.
Terlambat bagiku bukanlah masalah, tapi justru berkah! Aku ingat betul peraturan sekolah nomor sebelas, “Siswa yang datang terlambat ke sekolah tidak diperkenankan mengikuti pelajaran jam pertama”! Asyik bukan?
Benar saja. Setelah puas mendengarkan omelan satpam dan guru piket, aku pun segera mengisi tabel siswa terlambat yang memang sudah sangat akrab denganku. Bisa bebas tidak mengikuti jam pelajaran pertama, rasanya bagaikan bebas dari penjara! Apalagi, jam pertama adalah PKn dengan Pak Udin sebagai gurunya, guru yang terkenal tak pernah persiapan dalam mengajar dan sangat membosankan!
Berbicara soal kehidupanku di sekolah, tampaknya sudah terlalu sering aku menjadi bahan pembicaraan guru-guru. Bukan sebagai siswa cerdas atau apalah, tapi sebagai seorang siswa bandel, suka terlambat, membolos, tidur di kelas, tak rapi dan masih banyak lagi. Tapi, di balik semuanya itu, ada satu hal yang mungkin akan membuat semua guru terdiam setelah puas memarahiku. Kau tahu apa itu? Itu adalah karena aku selalu mendapat nilai pelajaran yang tinggi!
Rahasia “sukses”ku itu tak akan mungkin dapat selalu aku raih tanpa bantuan teman-temanku. Peran mereka sungguh besar bagi nilai-nilaiku. Ini bukan pernyataan yang bernada merendah, tapi, ya, memang seperti itulah kenyataannya! Sejak dulu, aku memang tidak terbiasa mengerjakan tugas atau bahkan tes dengan usahaku sendiri. Aku terbiasa untuk mencontek pekerjaan orang lain, memplagiat, dan, ya.., semacam itulah.
Menurutku, tak semua ilmu-ilmu di sekolah itu akan berguna untuk masa depanku. Dan aku pun sempat berpikir bahwa sekolah artinya tak lebih dari sebuah pintu bertuliskan “IJAZAH” yang jika berhasil melewatinya, kita akan masuk ke pintu lain yang bertuliskan “SARJANA”,”GELAR”, dan ujung dari semua itu sudah pasti sebuah kesuksesan.
Jadi…, kupikir tak perlu susah-susah untuk mencapai kesuksesan. Satu hal yang perlu dilakukan hanyalah melewati pintu-pintu itu dengan nilai pelajaran yang bagus. Dan jika hanya untuk sebuah nilai bagus, rasanya terlalu berlebihan jika kita berusaha mati-matian untuk meraihnya. Jika ada jalan pintas, mengapa harus melewati jalan memutar? Mungkin banyak orang mengatakan di mulut bahwa proses itu lebih penting daripada hasil, tapi kenyataanya mereka tak dapat berkutik ketika hasil yang mereka terima tak sepadan dengan usaha mereka.
Pada hari itu, hari di mana aku terlambat untuk yang kesekian kalinya pun, aku sudah merencanakan beberapa taktik cerdik untuk bisa mencontek pekerjaan orang lain. Memang hari itu menurutku termasuk hari penuh dengan tugas dan ulangan. Bayangkan saja, tugas meringkas buku PKn yang sulit untuk dipahami bahasanya, tugas mengerjakan latihan soal Matematika yang banyaknya tidak rasional, tugas mengerjakan LKS Biologi tanpa sebelum dan sesudahnya diberi penjelasan guru, ulangan Fisika dengan guru yang gaya mengajarnya sangat cepat, dan masih banyak lagi! Mungkin teman-temanku panik menghadapi serangan tugas dan ulangan yang terus menghujani itu. Tapi aku tetap tenang, dan percaya bahwa teman-temanku pasti dapat “menolongku” untuk yang kesekian kalinya!
Sepertinya aku masih bersantai sambil menghisap rokok di warung Bu Janto saat sayup-sayup kudengar suara bel jam pertama pelajaran berdering. Dan itu tandanya aku harus mengakhiri semua “surga” hukuman ini, dan kembali ke “neraka” kebosanan bernama kelas. Sebenarnya, pantatku ini rasanya masih ingin menempel di sofa reot yang empuk di warung itu. Tapi, berhubung pelajaran jam kedua akan diisi guru killer bernama Pak Furki, aku pun sekuat tenaga mengangkat pantatku dan pergi dari situ. Dengan langkah gontai, aku menyusuri lorong-lorong sekolah yang menurutku penuh dengan hawa keterpaksaan belajar.
Ya, seperti itulah hari-hariku. Penuh dengan kata terlambat, contek-mencontek, dan satu lagi, tugas! Sering kali aku merasa bosan menjalani rutinitas masa-masa SMA yang hanya seperti ini. Lebih-lebih soal tugas! Tapi, untungnya, aku tergolong orang yang beruntung. Aku masih sering menikmati masa-masa indah nongkrong bersama teman-temanku, nge-band, hangout, dan masih banyak lagi. Tak usah bingung kalau ada tugas ataupun ulangan, selama aku masih punya teman, mereka pasti akan “membantuku”. Itulah prinsip hidupku, di mana ada teman, di situ ada jalan!
Sebenarnya prinsip ini tak hanya aku pegang sendiri, tapi percaya atau tidak, kebanyakan siswa di sekolahku baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi, juga memegang prinsip ini! Alasannya bermacam-macam. Mulai dari alasan klasik yaitu agar mendapat nilai bagus, sampai alasan “bukan SMA namanya kalo nggak nyontek”. Menariknya, banyak juga siswa yang mendapat julukan “culun” lalu dikucilkan gara-gara tidak mau ikut mencontek atau tidak mau memberikan contekan. Dan, yaahh.., tentu saja, itu tidak mungkin aku!
***
Siang itu, sambil nongkrong di warung Bu Janto, aku bersama teman-teman seperjuanganku berencana untuk melakukan hobi kami, membolos! Untuk mengisi waktu membolos, kami biasanya pergi ke kios game-online, bermain futsal, atau, hanya nongkrong di warung bubur kacang ijo dekat sekolah kami. Sungguh menjengkelkan, ketika kami sedang membicarakan rencana, suara bel tanda berakhirnya jam istirahat  sudah terdengar. Setelah membayar jajanan, kami pun segera berlari kencang menuju ke kelas untuk mengambil tas.
Yeeaahh.., sepertinya hari ini bisa dikategorikan sebagai hari sial kami. Setelah mengambil tas, dan ketika hendak pergi dari kelas, Pak Yuniar, sang guru biologi, sudah ada di ambang pintu, membawa hawa yang menurutku sungguh menakutkan. Dengan sangat terpaksa, kami pun mengurungkan niat kami untuk sedikit merasakan surga dunia yang telah kami rencanakan tadi.
Siang itu, aku mengikuti pelajaran dengan setengah hati. Bagaimana tidak, pikiranku selalu terbang membayangkan seandainya aku dan teman-temanku jadi membolos. Hmm.., pasti akan sangat menyenangkan, pikirku.
“Anak-anak, tugas kali ini kalian buat karya tulis tentang Pengaruh Hukum Mendel di Kehidupan Modern. Minimal sepuluh halaman, Times New Roman 12, spasi 1.5, dikumpulkan akhir November”, ujar Pak Yuniar dengan suara berat khasnya yang disambut keluhan teman-teman sekelasku.
“Ahh, santai. Masih dua minggu lagi. Aku bakal pinjem karya tulisnya Alif lalu dengan sedikit diubah kata-katanya dan tentu juga nama penulisnya, tugas karya tulis kali ini bisa The End..”, pikirku optimis membayangkan rencana cerdikku.
Ya, kebanyakan, nasib dari tugas-tugas dan ulangan-ulanganku aku serahkan pada Alif, sahabatku sejak SMP yang memang punya otak encer dan selalu masuk the big five di rangking kelas. Sebenarnya, dulu waktu awal SMP, aku pernah menjadi lawan bersaingnya dalam hal pelajaran. Kadang aku yang menang, kadang juga dia yang menang. Kami merasakan kompetisi yang sehat pada saat itu. Sekarang pun, kami masih sering bersaing dalam pelajaran, tapi bedanya, hanya Alif yang bekerja sedangkan aku menikmati cipratan hasilnya, yang justru sering lebih tinggi nilainya dibandingkan dengan hasil kerja keras murni dari Alif.  Kadang aku merasa tidak enak jika aku sering mendapat nilai lebih tinggi dari Alif. Tapi ya, tak apalah. Toh memang begitu kenyataannya.
***
Hampir satu setengah minggu aku menjalani hidupku dengan santai seolah tak ada beban pekerjaan dan tugas-tugas sekolah. Ya seperti itulah, nongkrong, band, game online, bolos, dan sejenisnya. Dan sepertinya aku masih di warung burjo malam itu ketika tiba-tiba Dito mengingatkanku pada tugas karya tulis Pak Yuniar.
“Bos, kamu udah ngerjain karya tulisnya Pak YR belum?” tanya Dito membuatku tersedak.
“Hah?! Karya tulis?” tanyaku penasaran.
“Halah, yang tentang Mendel-mendel itu lho. Yang waktu kita dulu gagal bolos itu…,” cletuk Ara sambil menginjak puntung rokoknya yang telah habis.
“Mati aku! Aku belum ngerjain! Kapan ngumpulinnya?!” tanyaku setengah kaget.
“Besok pagi jam pertama waktu pelajaran Biologi! Hahaha!! Belum ngerjain? Nekat banget kamu, Bro! Hahaha, aku sih udah pinjem filenya si Laras, tinggal ganti nama doang, selesai urusannya!” jawab Angga  menyindirku.
“Kalo aku sama Dito sih udah pinjem punya Ucik, Bos…,” tambah Ara.
“Yoi,coy…, urusan contek-mencontek? Beres laah..! Hahaha,” jawab Dito menanggapi Ara.
Dengan rokok yang masih ada di mulut, aku pun segera pergi dari tempat itu untuk menyelesaikan urusan karya tulis ini. Saat itu yang ada di pikiranku hanyalah Alif, sang penentu nasib. Rencananya, aku akan pergi ke rumahnya sekarang, lalu meminjam file karya tulisnya.
Jam di tangan kiriku yang menunjukkan angka 22.45, membuatku pesimis akan bertemu dengan Alif. Suasana lingkungan tempat Alif tinggal yang sudah terlihat sangat sepi semakin menambah rasa raguku untuk bertemu dengan sang penentu nasibku ini. Dan benar saja, ketika sudah sampai di depan rumah Alif, hanya keheningan yang aku temui. Pasti Alif dan keluarganya sudah terlelap, pikirku. Aku tidak enak bila harus mengetuk pintu rumah, meminjam file milik Alif, lalu pergi begitu saja dari situ. Akhirnya dengan sangat terpaksa, aku pergi dari rumah Alif, dan bertekad akan kembali besok pagi-pagi sekali ke rumahnya. Aku pulang dengan tangan hampa, lalu tidur dengan pikiran yang terus berkelana.
***
“Banguuunn Kaakk!!!” teriak seseorang di kupingku.
Dengan malas aku pun membuka mataku yang masih terasa sangat berat. Oh, rupanya adikku, Rendi yang membangunkanku. Aku pun segera melirik HPku untuk melihat jam. Tertulis, jam 06.03.
“Apaa??!! Sudah jam 6??!!!”, teriakku membuat Rendi kaget setengah mati.
Sial! Sial! Siaaalll!! Aku baru ingat kalau aku harus pergi ke rumah Alif sekarang! Dengan langkah seribu, aku pun segera mandi, bersiap-siap, kemudian segera kabur dari rumahku. Pasti Alif sudah berangkat sekolah sekarang, pikirku pesimis.
Sesampainya di rumah Alif, aku langsung menanyakan Alif kepada ibunya.
“Pagi, Bude. Alifnya udah berangkat belum ya?” tanyaku kepada Bude Rini, ibu Alif yang terlihat sedang menyapu.
“Ealah, kamu, le. Alifnya sakit. Kemarin dia nglembur tugas biologi apa gitu. Sampek jam 2 pagi baru tidur tu anak. Sebenernya, Bude juga kasihan lihat Alif ngerjainnya ngotot gitu, tapi ya emang gitu sih orangnya. Tapi ya gak papalah, yang penting berusaha. Masuk aja langsung ke dalem…,” jawab Bude Rini sambil menunjuk jendela kamar Alif.
Benar saja, ketika masuk ke kamar Alif, terlihat buku-buku biologi berserakan, kertas-kertas tersebar tidak karuan. Kopi yang tersisa sedikit di dasar gelas seakan menjadi saksi bisu kerja keras Alif. Dan yang membuatku cukup terenyuh adalah di meja utama tempat Alif biasanya belajar, masih terbuka Alkitab yang sudah terlihat kumal dan penuh dengan coretan. Alif terlihat berbaring dengan muka pucat. Dan mungkin karena kedatanganku, Alif menjadi terbangun.
“Sakit apa, Bos?” tanyaku pada Alif.
“Nggak tau nih, paling kecapekan ngerjain karya tulisnya YR. Yaahh.., tapi gak papalah. Yang penting udah berusaha maksimal,” jawab Alif degan mata sayu.
“Berarti punyamu udah jadi kan, Bos? Pinjem ya buat nyocokin sama punyaku. Aku masih bingung bagian landasan teorinya, Bos! Hehe…,” kataku berbohong.
“Oke coy…, nanti ijinin aku ke wali kelas ya. Sekalian nitip tolong kumpulin karya tulisku pas pelajaran Pak YR nanti...,” ujar Alif sambil memberiku karya tulisnya kepadaku.
“Siiaapp! Eh, ngomong-omong, karya tulismu yang masih bentuk file mana, Lif?” tanyaku penuh harap.
“Oo, aku belum sempet masukin ke flash disk, Bro. Ada di laptopnya bapakku, dan sekarang bapakku udah berangkat kerja...,” jawab Alif mengerutkan dahinya.
“Oo…, ya udah, Bos. Aku cabut dulu, cepet sembuh ya,bos! Makasih, sori ganggu, hehe…,” kataku sambil memasukkan karya tulis milik Alif ke dalam tas.
Gawat. Bagaimana aku bisa mengganti kata-kata dan nama dalam karya tulisnya Alif jika file mentahnya pun tak ada? Sekarang, yang ada di tanganku hanyalah lembaran karya tulis yang telah dijilid rapi. Hmm.., sepertinya satu-satunya jalan adalah menyerahkan karya tulis ini dengan mengatasnamakan aku. Ya memang, semula aku merasa tidak enak juga dengan Alif, tapi yaa.., apa boleh buat. Pilihannya cuma dua, kumpulkan atau mati. Dan kurasa, orang paling bodoh di dunia pun pasti akan menjawab…, kumpulkan!
Jam tanganku sudah berangka 06.48 ketika aku berada di kios komputer depan sekolahku untuk mengganti cover karya tulis Alif dengan cover namaku. Kupikir, Alif tak akan mungkin marah denganku, bilang saja karya tulisnya sudah aku serahkan ke Pak Yuniar. Dan jika nilai Alif tidak muncul, paling-paling Alif akan mengira karya tulisnya tak sengaja dihilangkan oleh Pak Yuniar. Mungkin karena terselip, jatuh, ketinggalan, atau sejenisnya.
Setelah melakukan kegiatan kriminal itu, dengan langkah pasti aku pun segera menuju ke kelas. Haahh.., dengan sedikit perjuangan di awali hari, akirnya aku bisa menyelesaikan tugas yang menurutku sangat berat ini. Tak seperti biasanya juga aku bisa datang ke sekolah dengan tidak terlambat. Sepertinya hari ini adalah hari keberuntunganku, dan keberuntungan pertama pastinya akan kualami  di awali pagi, di mana aku akan mendapat nilai yang bagus atas karya tulis”ku” ini.
“Mana karya tulismu?” tanya Pak Yuniar mengagetkanku dari belakang.
“Eh, sudah saya kerjakan kok Pak. I…, ini..,” kataku sambil mengeluarkan karya tulis Alif dari tasku, kemudian memberikannya ke Pak Yuniar.
“Hmm…, bagus juga topiknya. Apa kamu mengerjakan ini sendiri?” Tanya Pak Yuniar membuatku agak kaget.
“Iya. Saya mengerjakan sendiri kok, Pak…,hehe,” jawabku berbohong.
“Ngomong-ngomong, temanmu Alif ke mana? Kok tidak berangkat?” lanjut Pak Yuniar menunjuk bangku kosong di sebelahku.
“Oh, iya. Alif ijin karena sakit, Pak,” jawabku singkat.
Dan ya, seperti itulah akhir drama di pagi ini. Berawal dari perjuangan meminjam karya tulis Alif, penggantian nama penulis, hingga proses pengumpulannya yang mendebarkan. Siang ini, kututup pula jam sekolah dengan senyuman ketika aku melihat angka sembilan empat di kertas ulangan Matematikaku. Kesempurnaan hari ini makin terasa saja ketika aku pulang ke rumah. Sambutan hangat Ibu dan Ayahku, makan siang dan makan malam yang sungguh sedap, dan tawa yang pecah ketika kami sekeluarga makan bersama. Makanan enak hari ini ternyata bukan tanpa sebab, karena ternyata, ini semua adalah perayaan atas selesainya desertasi Ayah. Aku tahu, ayahku benar-benar bekerja keras untuk ini. Mulai dari kerja lembur tiap hari, referensinya yang menggunung, sampai pergi ke sana-kemari demi sebuah informasi yang pasti.
***
Beberapa hari setelah itu, kehidupanku kembali berjalan normal. Yaa.., biasa. Masih tentang datang terlambat, tugas, contek-mencontek, dan membolos tentu saja. Sampai kepada suatu siang yang mendung, tugas karya tulis biologi akhirnya dibagikan. Kau tahu hasilnya? Luar biasa! Aku mendapat nilai tertinggi di kelas! Sebuah tinta merah bertuliskan A+ seakan menghapus mendung yang sedang melanda langit siang ini.
“Weee.., selamat ya, Bos! Nilai tertinggi ya?” ucap Alif dengan riang sembari membolak-balik tumpukan karya tulis teman-temanku sekelas.
“Hahaha.., iya, Bro.., makasih..,” jawabku singkat.
“Wah, karya tulisku di mana ya? Kok dari tadi aku cariin gak ada?” gumam Alif menggaruk-garuk kepalanya. Aku hanya terdiam.
“Eh, Bro, ngomong-ngomong kamu nulis apaan sih kok bisa dapet A plus? Pinjem bentar dong, barang kali aku bisa belajar dari punyamu. Hehe..,” lanjut Alif sambil menarik karya tulisku pelan.
“Eh, tapi..,” kataku kaget saat melihat karya tulisku sudah ada di tangan Alif. Mati aku! Apa yang harus kukatakan pada Alif? Alif sekarang terlihat sedang membolak-balik halaman di karya tulisku itu! Suasana mendadak menjadi seperti kuburan, dingin dan sepi. Sampai pada suatu saat, Alif kembali menatapku dan tersenyum.
“Bos, kalau aja kamu ada di posisiku, kamu pasti bisa ngerti rasanya,” kata Alif sambil mengembalikan karya tulisku.
Bel tanda berakhirnya jam sekolah seakan memecah keheningan antara kami berdua. Alif segera mengambil tasnya, kemudian pergi meninggalkanku. Kembali aku duduk di bangku kelas yang perlahan mulai ditinggal para penghuninya ini. Hanya ada aku, gemuruh guntur, dan rintik hujan.  Entah mengapa, aku kemudian merasa sangat bersalah kepada Alif. Kata-kata terakhirnya kepadaku tadi benar-benar mengusik isi kepalaku. Ingin kulupakan saja seperti biasanya, tapi tak bisa. Dengan pikiran yang terus melayang, aku pun pulang dalam rintik hujan.
Sesampainya di rumah, aku pun segera melepas sepatu dekilku dan masuk begitu saja seperti biasanya.
“Buk, aku pulang…,” kataku sambil menenteng sepatuku. Sepi. Taka ada sambutan dari Ibuku seperti biasanya. Tapi, tunggu dulu. Tanpa sengaja, aku melihat Ibuku sedang duduk di ruang makan. Dan ternyata, ayahku juga sedang duduk di sana. Mereka terlihat saling diam dalam posisi duduk yang bersebrangan.
“Mengapa Ayah ada di sini? Bukankah dia biasanya masih bekerja dan baru pulang jam tujuh malam? Ada apa ini?” pertanyaan-pertanyaan seakan menghujaniku saat itu. Pikiranku masih penuh dengan pertanyaan sampai aku mendekat dan bertanya pada orang tuaku.
“Ibu ada apa?” tanyaku sambil menunduk mencoba melihat wajah Ibuku yang dari tadi pandangan matanya kosong.
“Eh, sudah pulang kamu, le. Haahh.., Ayahmu.., “kata Ibuku lirih sambil sekilas memandang ke arah Ayah.
“Ayah? Ayah kenapa?” tanyaku dengan penuh perasaan ingin tahu sambil melihat ke Ayah dan Ibuku. Telinga dan mata Ayah terlihat memerah. Raut wajahya pun tempak lebih tua dari biasanya.
“Desertasi Ayah diplagiat…,” jawab ayahku dengan suara berat.
“Apa, yah!?” jawabku kaget.
“Tapi Ayah kan sudah bekerja keras untuk itu?!” kataku seakan tak percaya. Aku ingat benar kejadian malam itu, ketika kami sekeluarga berdoa bersama sebelum makan malam. Pada saat itu, Ayah yang memimpin doa kami. Dalam doa, kami mengucapkan syukur yang teramat dalam atas penyertaan Tuhan sehingga Ayah bisa menyelesaikan desertasinya. Selesai berdoa, kulihat wajah ayah tampak sangat gembira. Tapi sekarang, tepat di ruang yang sama, wajah ayah benar-benar berubah 180 derajat.
“Tak apa, Ayah masih akan berusaha mengambil kembali hak Ayah itu. Itu hasil kerja keras Ayah, dan Ayah tahu tiap kerja keras dan doa yang Ayah lakukan tak akan kembali dengan sia-sia, “ kata Ayah tersenyum walau masih dengan wajah yang tampak terbebani.
Sepertinya.., cepat atau lambat, aku juga turut merasakan apa yang sedang Ayahku rasakan. Kesal, marah, dan geram tentu saja. Desertasi ini sangat berharga bagi Ayah. Coba bayangkan betapa kerasnya Ayah bekerja dan berapa waktu yang tersita. Semuanya itu seakan sekejap hilang menjadi tak ada artinya ketika kata “plagiat” datang. Tanpa kusadari, pikiranku tiba-tiba kembali terarah kepada seorang pribadi yang telah kulukai, Alif.
“…bos, kalau aja kamu ada di posisiku, kamu pasti bisa ngerti rasanya…”
Kata-kata terakhir Alif itu terus terngiang di telingaku. Ya Tuhan, apa ini rasanya ada di posisi Alif? Apa ini yang Alif rasakan selama ini? Aku berani bersumpah, ini sakit. Sungguh sakit! Rasanya seperti ladang yang kau tanam dengan keringatmu, dipanen oleh orang lain yang bahkan tak menjatuhkan keringat setetes pun di ladangmu itu!
“…nggak tau nih, paling kecapekan ngerjain karya tulisnya YR. Yaahh.., tapi gak papalah. Yang penting udah berusaha maksimal…”
Kata-kata Alif kembali menghujam pikiranku. Aku berani berkata jika aku sungguh malu melihat diriku sekarang ini. Bagaimana tidak malu, jika aku berperilaku layaknya seorang pencuri? Seorang pencuri yang bahkan tak punya harga diri dan tak akan pernah peduli bahkan menoleh pada perasan keringat korbannya. Aku merasa selama ini diriku seperti orang bodoh yang justru bangga berada pada jalur kehidupan yang salah. Mataku telah dibutakan oleh keinginanku yang menggebu akan nilai-nilai pelajaran yang tinggi, sehingga tak peduli cara apa yang aku tempuh, aku akan melakukannya walau harus “membunuh” sahabatku sekalipun. Lalu…, apa yang aku banggakan selama ini? Aku membanggakan sesuatu yang semu! Semua nilai-nilai tinggi yang selama ini aku dapat, sekarang artinya tak lebih dari sampah-sampah kertas yang siap dibakar. Tak terdapat cerminan diriku di lembaran-lembaran kertas itu. Hanya namaku, tapi bukan jiwaku. Itu semua keringat teman-temanku. Itu semua bukanlah aku! Itu semua palsu!
Aku tak tahu berapa lama tenggelam dalam lautan penyesalan ini sampai pada akhirnya aku mendengar kabar bahwa orang yang memplagiat desertasi ayahku telah tertangkap. Dan kau tahu siapa itu? Itu adalah teman dekat ayahku sendiri! Sekarang, dia telah dipecat dari pekerjaannya dan merasakan nikmatnya menginap di balik jeruji besi. Cemoohan dari seluruh rekan kerja dan juga masyarakat, serta rasa malu yang tak terkira, seakan menjadi hukuman sesungguhnya yang dia alami.
Aku bersyukur, aku bisa sadar akan tindakan salahku di masa mudaku ini. Dan sekarang, aku bertekad untuk memulainya lagi dari nol dan menjadi diri sendiri. Ya, aku tahu akan banyak rasa sakit yang akan kuderita nanti. Tapi biarlah, perubahan tak mungkin ada tanpa rasa sakit. Dan itulah pilihanku. Menjadi berbeda di tengah lautan keseragaman, kupikir tak ada salahnya. Pagi itu juga, kuputuskan untuk menyampaikan pengakuan.
“Pak, karya tulis yang saya kumpulkan kemarin…, itu bukan milik saya. Itu bukan buatan saya,” kataku dengan yakin.
“Orang di sebelah saya inilah yang membuatnya, Pak. Alif,” lanjutku mantap. Mendengar hal itu, Alif hanya tersenyum padaku. Dan menurutku, itu sudah lebih dari cukup untuk membuatku lega. Misi pertama terselesaikan, misi kedua, menghadapi hukuman dari Pak Yuniar…, siap kutelan.
Sudah kuputuskan, mulai saat ini aku adalah manusia seutuhnya, yang akan memberikan semua usaha, keringat, dan jiwaku, bukan usaha, keringat, dan jiwa temanku! Aku ingin menjadi tiang, dan bukan bendera yang hanya mengikuti ke mana angin bertiup. Aku akan berjuang dengan usahaku sendiri, dengan penuh kejujuran. Ya, kejujuran yang akan membawaku untuk menjadi diriku sendiri, apa adanya.***

Kamis, 30 Juni 2011

Menjadi Generasi Cerdas dan Mandiri dengan Membaca dan Menulis



Oleh: Danang Adi Wiratama
Bila kita membaca serius 15 menit tiap hari, maka sekurang-kurangnya 20 buku dapat kita baca tiap tahun (Ralph M.Besse)
Edan! Itulah nama zaman yang sedang kita hadapi saat ini. Nilai-nilai diputar balik, di obrak-abrik, bak pentas komedi. Kejahatan dianggap wajar, sedangkan yang melakukan kebaikan malah dianggap tabu dan tak benar. Korupsi, terorisme, kekerasan, ketidakjujuran, dan kerusakan moral telah menjadi budaya di negeri ini. Negara seolah sedang sekarat dan membutuhkan pertolongan cepat. Bukan bualan dan protes yang saling menghujani, tetapi peran serta dan solusi pasti yang dibutuhkan.
Generasi muda sudah saatnya memberontak dan mendobrak sistem yang meski salah, tetapi tetap berlaku saat ini. Tak terkecuali kita, siswa SMA. Sebagai generasi penerus, kita dituntut untuk ikut berjuang menghadapi masalah-masalah yang menggerogoti bangsa ini. Bukan dengan demonstrasi atau aksi anarki yang merugikan banyak orang. Tetapi, melalui perjuangan yang sesuai dengan peran kita sebagai pelajar, yaitu dengan belajar.
Berbicara soal belajar, tentunya tidak bisa dilepaskan dari aktivitas  membaca dan menulis. Keduanya saling berkaitan. Membaca adalah serangkaian kegiatan pikiran seseorang yang dilakukan dengan penuh perhatian untuk memahami sesuatu keterangan yang disajikan kepada indra pengelihatan dalam bentuk lambang huruf dan tanda lainnya. Jadi yang perlu  diperhatikan dari membaca, bukanlah pada “memandang” tulisannya, tetapi pada memahami isi tulisan dengan baik. Membaca adalah kegiatan yang sudah, sedang, dan akan senantiasa kita lakukan, sepanjang raga masih ada. Mudah memang. Tetapi menjadikan membaca sebagai kebiasaan, apakah mudah?
Sebelum kita menjawabnya, mari kita bahas terlebih dahulu alasan-alasan utama yang melatarbelakangi  mengapa membaca perlu dijadikan menjadi sebuah kebiasaan. Alasan pertama adalah membaca akan memberikan wawasan bagi kita. Ya, pengetahuan yang senantiasa akan kita butuhkan di kehidupan. Dengan banyak membaca, kita akan menjadi tahu berbagai macam hal, sehingga kemudian kita bisa menentukan suatu sikap seperti hal yang mana diri kita akan menjadi. Tentunya, semua orang ingin menjadi cerdas, bukan? Maka membaca adalah jawabannya! Tak perlu waktu yang lama dalam membaca sebuah buku. Cukup luangkan beberapa menit, untuk memahami secara bertahap setiap bab yang kita selami. Bila ini kita lakukan tiap hari, tentu saja akan banyak sekali informasi dan pengetahuan yang kita dapat hanya dari sebuah buku dalam waktu satu tahun. Bayangkan saja jika semua anak di Indonesia mau meluangkan waktunya sebentar untuk membaca, pasti dalam waktu satu tahun akan muncul jutaan generasi baru penerus bangsa yang cerdas dan mandiri!
Alasan yang kedua mengapa membaca perlu dibiasakan adalah membaca melatih kita mengembangkan pola berpikir serta daya kreatifitas dan imajinasi. Televisi memang menayangkan informasi dan hiburan dengan gambar bergerak yang sangat menarik perhatian kita, sehingga kita tidak perlu lagi untuk berimajinasi atau membayangkan yang sudah disampaikan lewat televisi. Lain halnya jika kita membaca buku. Saat kita membaca buku, kita benar-benar dituntut untuk berkreasi dan berimajinasi secara bebas membayangkan apa yang sedang diceritakan dan diinformasikan pada buku yang sedang kita baca. Misalnya kita membaca tentang dua orang yang sedang bercakap-cakap dalam sebuah ruangan, maka kita akan membayangkan bagaimana kondisi , suasana, dan bentuk ruangan, pakaian apa yang sedang mereka pakai, dan bagaimana rupa mereka.
Alasan yang ketiga adalah membaca dapat memberikan berbagai macam perspektif bagi kita. Dalam membaca berbagai macam buku, kita pastinya melihat bahwa kehidupan digambarkan melalui pandangan bermacam-macam penulis, yang juga masing-masing punya cara yang berbeda dalam menghadapi berbagai macam situasi yang dituliskan dalam bukunya. Dari sini, kita dapat belajar untuk memahami dan menghargai diri orang lain, dan juga kita dapat belajar bahwa untuk menghadapi berbagai situasi dan masalah, kita dapat melihat dari berbagai macam sisi dan perspektif.
Ya, tiga alasan tadi, adalah efek pasti yang akan segera kita rasakan jika kita mau secara sungguh-sungguh menjadikan membaca sebagai kebiasaan. Lalu, pertanyaanya sekarang setelah kita tahu manfaat utama dari membaca adalah, bagaimana caranya menjadikan membaca sebagai suatu kebiasaan?
Sederhana. Jawaban dari pertanyaan di atas hanya ada dua, yaitu yakini dalam hati dan terapkan segera. Itu saja! Yakini dalam hati di sini berarti kita harus percaya bahwa dengan membaca, kita akan mendapatkan sesuatu yang tak ternilai harganya. Ilmu, kreatifitas, dan kedewasaan berpikir. Tiga hal yang tak akan pernah bisa dibatasi oleh apapun di dunia ini. Kemudian diperlukan juga suatu sikap mau belajar sepanjang hayat (long life education) pada diri kita. Dengan demikian, kita akan meyakini bahwa tak ada kata terlambat untuk belajar, belajar, dan terus belajar. Setelah “yakini dalam hati”, kemudian langkah selanjutnya adalah terapkan segera! Kita dapat memulai untuk membaca dari hal-hal yang kita senangi terlebih dahulu, yang mungkin berkaitan dengan pelajaran di sekolah, hobi, trend, olahraga, seni, dan lain-lain. Kita bisa menyisihkan uang saku kita untuk membeli buku favorit kita setiap akhir bulan, dan juga kita bisa mengunjungi perpustakaan yang ada di sekolah atau kota kita. Tak perlu waktu lama untuk membaca. Sediakan waktu paling tidak 15 menit per hari untuk mencerna dan memahami buku yang sedang kita baca. Tidak usah tergesa-gesa dan nikmati saja! Dengan akses buku yang sedemikian mudahnya untuk digunakan dan dimanfaatkan, adalah hal bodoh jika menyia-nyiakan kesempatan berharga ini. Ilmu seperti tersebar dan “berserakan di mana-mana”, seakan menunggu kita untuk mengambil, mempelajari, dan menerapkannya. Jadi, tunggu apa lagi?
Ya, membaca memang baik, tetapi sebetulnya itu belum selesai. Masih ada satu proses lagi yang harus dilakukan untuk menjadi generasi penerus bangsa yang cerdas dan berkualitas. Itu adalah “membagi” ilmu kita, menyuarakan isi hati dan pikiran kita, dan turut memberi opini dan solusi tentang masalah yang sedang dihadapi. Jadi, kita tak hanya menerima ilmu dan pengalaman, tak hanya memiliki opini, tetapi juga harus belajar untuk menyampaikan dan menyuarakan itu semua kepada orang lain! Dengan demikian kita bisa turut ambil bagian dalam memberi ide sebagai solusi atas masalah yang sedang terjadi. Namun pertanyaanya, bagaimana kita, sebagai siswa SMA menyampaikan ide-ide kita ke masyarakat secara benar dan efektif?
Tulisan. Ya, itu jawabanya. Lewat tulisan kita bisa merumuskan ide-ide kita secara utuh dan jelas, sehingga dapat dikomunikasikan dan dipahami oleh orang lain, tanpa menimbulkan salah pengertian. Ini menjadi kekuatan tulisan dibandingkan dengan media lain yang justru sering kali menimbulkan salah tangkap dan masalah baru.
Masalahnya di sini adalah, menulis seringkali dianggap sebagai pekerjaan yang teramat sulit dan membosankan. Banyak dari kita yang merasa bahwa dirinya tidak mempunyai bakat apapun dalam hal menulis. Atau bahkan ada orang lain yang mengatakan pada kita bahwa kita tak berbakat menulis, lalu kita dengan mudahnya mengiyakan anggapan itu dan mulai memvonis diri tak bisa menulis. Pikiran inilah yang jika masih tertanam dalam otak kita, akan menjadikan kita benar-benar sulit atau bahkan tidak bisa menulis! Menulis pun hanya menjadi angan-angan yang takkan bisa dilakukan karena menjadi seperti teramat sulit. Anggapan bahwa kita adalah pikiran kita, tampaknya benar adanya. Yang terpenting dari memulai sebuah tulisan adalah diperlukannya sikap pribadi yang tidak memvonis diri tidak berbakat atau tidak mampu dalam menulis. Seperti yang pernah dikatakan oleh Andrias Harefa, seorang penulis buku best seller, “Yang mungkin diperlukan bukanlah suatu ‘bakat’ istimewa, tetapi lebih pada keinginan dan minat yang besar untuk mau belajar, membangun kebiasaan menuangkan gagasan lewat tulisan”.
Kita pastinya pernah menulis ringkasan buku pelajaran, atau menulis di buku harian, puisi, status Facebook dan Twitter, atau bahkan surat cinta. Atau pernahkah kita mempersiapkan sebuah presentasi, membuat cerpen, atau bahkan tugas karya tulis? Jika anda pernah melakukan paling tidak satu dari kegiatan-kegiatan itu maka, selamat! Anda termasuk orang yang “berbakat” dalam menulis, atau bahkan menjadi seorang penulis! Jangan kita anggap bahwa kegiatan-kegiatan menulis yang pernah kita lakukan sebelumnya adalah kegiatan sepele yang tak berarti. Justru itulah modal penting untuk membiasakan budaya menulis, budaya menyampaikan ide melalui tulisan.
Tentu saja untuk membiasakan diri menyampaikan ide melalui tulisan juga diperlukan suatu hasrat yang besar, tekad yang kuat dan kemauan besar untuk belajar sepanjang hayat. Belajar di sini tentu saja harus diikuti dengan latihan yang konsisten. Tekun menulis apa saja, menemukan tema-tema yang menarik perhatian kita, serta menggunakan teknik-teknik yang tepat dan sesuai dengan kemampuan kita.
Kita bisa saja memulai latihan menulis dengan kegiatan yang ringan terlebih dahulu, seperti menulis di catatan harian. Biasanya kita akan menulis tentang apa yang telah terjadi pada hari ini, apa tugas-tugas kita, apa pendapat-pendapat atau kritik kita, dan apa rencana kita untuk hari selanjutnya. Dengan membiasakan diri tiap hari untuk mengeluarkan isi pikiran ke dalam sebuah buku harian, sebetulnya kita sudah berlatih menulis secara konsisten dan efektif. Semakin sering kita menulis di buku harian, semakin mudah proses menulis kita rasakan. Tak hanya itu, gaya bahasa kita pun pastinya akan semakin baik dari waktu ke waktu. Ide-ide semakin mudah mengalir, dan akhirnya, proses menulis pun jadi semudah dan senikmat seperti pada saat kita makan. Cobalah!
Berbicara soal membaca dan menulis, pasti kebanyakan orang pikirannya hanya akan terpusat pada buku, alat tulis, dan secarik kertas. Tidak salah memang, tapi tahukah anda jika arti dari membaca dan menulis sesungguhnya sangatlah luas? Membaca, misalnya. Membaca di sini tidak hanya diartikan secara sempit sebagai kegiatan memahami isi dari suatu buku, tetapi dapat juga diartikan secara luas seperti membaca keadaan dan situasi, misalnya. Menulis di sini tidak hanya diartikan secara sempit sebagai kegiatan menuangkan ide dan gagasan dalam secarik kertas, tetapi dapat juga diartikan secara luas sebagai kegiatan menuangkan dan menyampaikan ide melalui berbagai macam media misalnya. Contohya ada pada kehidupan saya sendiri. Saya sejak kecil sangat menyukai membaca. Kebiasaan saya setelah membaca biasanya saya akan “menuliskan” apa yang telah saya baca tadi ke dalam bentuk gambar sesuai dengan apa yang saya imajinasikan. Sejak SMP hingga SMA saat ini, saya mulai beralih dari menggambar “bebas” ke menggambar karikatur dan kartun opini. Itu adalah karena saya ingin menyampaikan uneg-uneg saya terhadap situasi yang ada. Jadi, sebelum menggambar karikatur, saya biasanya membaca-baca koran, menonton berita di TV, dan merasakan secara langsung keadaan yang sedang terjadi sebagai bahan untuk membuat karikatur. Karikatur seakan menjadi senjata saya selain tulisan untuk menyampaikan ide, protes, dan argumen saya ke orang lain. Dari situlah, saya menyadari bahwa yang saya lakukan ini juga adalah kegiatan “membaca dan menulis”. Membaca situasi dan kondisi yang terjadi, dan menuliskannya dalam bentuk seni karikatur, yang menurut saya  bisa menyampaikan banyak sekali pesan dan kritik.
Membaca dan menulis. Itulah senjata ampuh dan kunci bagi bangsa kita untuk menghadapi masa depan. Kita sebagai generasi penerus, mutlak harus melakukan, membiasakan, dan membudayakannya. Kita tidak bisa menjadi setengah-setengah. Hanya membaca saja, atau hanya menulis saja. Membaca saja hanya akan membuat kita pasif dalam menghadapi situasi yang melanda negeri ini. Kita memang akan cerdas, tapi kita seakan hanya menelan ilmu tanpa menerapkannya dan menyuarakannya kepada orang lain. Hasilnya, ilmu yang sudah kita lahap pun pada akhirnya akan menjadi seperti tidak ada artinya. Sedangkan, jika kita hanya menulis saja, tanpa membiasakan membaca, maka kita adalah sama dengan tong kosong yang berbunyi nyaring. Apa yang kita sampaikan akan kurang bermakna dan berisi karena kita tidak mempunyai cukup “ilmu” untuk ditulis dan disampaikan. Karena itu membaca dan menulis perlu dilakukan secara beriringan. Biasakan membaca, biasakan menulis. Itu adalah kunci sukses untuk menjadikan kita sebagai generasi sekaligus manusia unggul yang tidak kalah dari bangsa-bangsa lain. Sudah saatnya kita segera mengambil sikap untuk membiasakan menulis dan membaca, mempersiapkan diri sebagai generasi bangsa yang cerdas, mandiri, dan berkualitas untuk menghadapi masa depan bangsa yang akan semakin penuh dengan tantangan. Ayo berjuang!

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More