Jumat, 09 Desember 2011

Sebuah Kepalsuan


Oleh: Danang Adi Wiratama
“Ketika pendidikan diselenggarakan dengan kepura-puraan, manipulasi,
bahkan kebohongan, tragedi kehidupan akan segera lahir”
(Shidarta Susila, Kompas, 25 November 2011)

Krrriiiiiiiiiiiiiiiiiinnggg!!! Bel masuk sekolah yang berdering memekakkan telinga sudah kudengar dari kejauhan. Beberapa siswa terlihat berlarian, dan yang lain mempercepat laju kendaraannya demi sebuah celah di gerbang sekolah yang hampir tertutup, tak terkecuali aku. Ya, hari itu seperti biasanya aku terlambat masuk sekolah, sebuah SMA favorit di kota kecil, Salatiga.
Terlambat bagiku bukanlah masalah, tapi justru berkah! Aku ingat betul peraturan sekolah nomor sebelas, “Siswa yang datang terlambat ke sekolah tidak diperkenankan mengikuti pelajaran jam pertama”! Asyik bukan?
Benar saja. Setelah puas mendengarkan omelan satpam dan guru piket, aku pun segera mengisi tabel siswa terlambat yang memang sudah sangat akrab denganku. Bisa bebas tidak mengikuti jam pelajaran pertama, rasanya bagaikan bebas dari penjara! Apalagi, jam pertama adalah PKn dengan Pak Udin sebagai gurunya, guru yang terkenal tak pernah persiapan dalam mengajar dan sangat membosankan!
Berbicara soal kehidupanku di sekolah, tampaknya sudah terlalu sering aku menjadi bahan pembicaraan guru-guru. Bukan sebagai siswa cerdas atau apalah, tapi sebagai seorang siswa bandel, suka terlambat, membolos, tidur di kelas, tak rapi dan masih banyak lagi. Tapi, di balik semuanya itu, ada satu hal yang mungkin akan membuat semua guru terdiam setelah puas memarahiku. Kau tahu apa itu? Itu adalah karena aku selalu mendapat nilai pelajaran yang tinggi!
Rahasia “sukses”ku itu tak akan mungkin dapat selalu aku raih tanpa bantuan teman-temanku. Peran mereka sungguh besar bagi nilai-nilaiku. Ini bukan pernyataan yang bernada merendah, tapi, ya, memang seperti itulah kenyataannya! Sejak dulu, aku memang tidak terbiasa mengerjakan tugas atau bahkan tes dengan usahaku sendiri. Aku terbiasa untuk mencontek pekerjaan orang lain, memplagiat, dan, ya.., semacam itulah.
Menurutku, tak semua ilmu-ilmu di sekolah itu akan berguna untuk masa depanku. Dan aku pun sempat berpikir bahwa sekolah artinya tak lebih dari sebuah pintu bertuliskan “IJAZAH” yang jika berhasil melewatinya, kita akan masuk ke pintu lain yang bertuliskan “SARJANA”,”GELAR”, dan ujung dari semua itu sudah pasti sebuah kesuksesan.
Jadi…, kupikir tak perlu susah-susah untuk mencapai kesuksesan. Satu hal yang perlu dilakukan hanyalah melewati pintu-pintu itu dengan nilai pelajaran yang bagus. Dan jika hanya untuk sebuah nilai bagus, rasanya terlalu berlebihan jika kita berusaha mati-matian untuk meraihnya. Jika ada jalan pintas, mengapa harus melewati jalan memutar? Mungkin banyak orang mengatakan di mulut bahwa proses itu lebih penting daripada hasil, tapi kenyataanya mereka tak dapat berkutik ketika hasil yang mereka terima tak sepadan dengan usaha mereka.
Pada hari itu, hari di mana aku terlambat untuk yang kesekian kalinya pun, aku sudah merencanakan beberapa taktik cerdik untuk bisa mencontek pekerjaan orang lain. Memang hari itu menurutku termasuk hari penuh dengan tugas dan ulangan. Bayangkan saja, tugas meringkas buku PKn yang sulit untuk dipahami bahasanya, tugas mengerjakan latihan soal Matematika yang banyaknya tidak rasional, tugas mengerjakan LKS Biologi tanpa sebelum dan sesudahnya diberi penjelasan guru, ulangan Fisika dengan guru yang gaya mengajarnya sangat cepat, dan masih banyak lagi! Mungkin teman-temanku panik menghadapi serangan tugas dan ulangan yang terus menghujani itu. Tapi aku tetap tenang, dan percaya bahwa teman-temanku pasti dapat “menolongku” untuk yang kesekian kalinya!
Sepertinya aku masih bersantai sambil menghisap rokok di warung Bu Janto saat sayup-sayup kudengar suara bel jam pertama pelajaran berdering. Dan itu tandanya aku harus mengakhiri semua “surga” hukuman ini, dan kembali ke “neraka” kebosanan bernama kelas. Sebenarnya, pantatku ini rasanya masih ingin menempel di sofa reot yang empuk di warung itu. Tapi, berhubung pelajaran jam kedua akan diisi guru killer bernama Pak Furki, aku pun sekuat tenaga mengangkat pantatku dan pergi dari situ. Dengan langkah gontai, aku menyusuri lorong-lorong sekolah yang menurutku penuh dengan hawa keterpaksaan belajar.
Ya, seperti itulah hari-hariku. Penuh dengan kata terlambat, contek-mencontek, dan satu lagi, tugas! Sering kali aku merasa bosan menjalani rutinitas masa-masa SMA yang hanya seperti ini. Lebih-lebih soal tugas! Tapi, untungnya, aku tergolong orang yang beruntung. Aku masih sering menikmati masa-masa indah nongkrong bersama teman-temanku, nge-band, hangout, dan masih banyak lagi. Tak usah bingung kalau ada tugas ataupun ulangan, selama aku masih punya teman, mereka pasti akan “membantuku”. Itulah prinsip hidupku, di mana ada teman, di situ ada jalan!
Sebenarnya prinsip ini tak hanya aku pegang sendiri, tapi percaya atau tidak, kebanyakan siswa di sekolahku baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi, juga memegang prinsip ini! Alasannya bermacam-macam. Mulai dari alasan klasik yaitu agar mendapat nilai bagus, sampai alasan “bukan SMA namanya kalo nggak nyontek”. Menariknya, banyak juga siswa yang mendapat julukan “culun” lalu dikucilkan gara-gara tidak mau ikut mencontek atau tidak mau memberikan contekan. Dan, yaahh.., tentu saja, itu tidak mungkin aku!
***
Siang itu, sambil nongkrong di warung Bu Janto, aku bersama teman-teman seperjuanganku berencana untuk melakukan hobi kami, membolos! Untuk mengisi waktu membolos, kami biasanya pergi ke kios game-online, bermain futsal, atau, hanya nongkrong di warung bubur kacang ijo dekat sekolah kami. Sungguh menjengkelkan, ketika kami sedang membicarakan rencana, suara bel tanda berakhirnya jam istirahat  sudah terdengar. Setelah membayar jajanan, kami pun segera berlari kencang menuju ke kelas untuk mengambil tas.
Yeeaahh.., sepertinya hari ini bisa dikategorikan sebagai hari sial kami. Setelah mengambil tas, dan ketika hendak pergi dari kelas, Pak Yuniar, sang guru biologi, sudah ada di ambang pintu, membawa hawa yang menurutku sungguh menakutkan. Dengan sangat terpaksa, kami pun mengurungkan niat kami untuk sedikit merasakan surga dunia yang telah kami rencanakan tadi.
Siang itu, aku mengikuti pelajaran dengan setengah hati. Bagaimana tidak, pikiranku selalu terbang membayangkan seandainya aku dan teman-temanku jadi membolos. Hmm.., pasti akan sangat menyenangkan, pikirku.
“Anak-anak, tugas kali ini kalian buat karya tulis tentang Pengaruh Hukum Mendel di Kehidupan Modern. Minimal sepuluh halaman, Times New Roman 12, spasi 1.5, dikumpulkan akhir November”, ujar Pak Yuniar dengan suara berat khasnya yang disambut keluhan teman-teman sekelasku.
“Ahh, santai. Masih dua minggu lagi. Aku bakal pinjem karya tulisnya Alif lalu dengan sedikit diubah kata-katanya dan tentu juga nama penulisnya, tugas karya tulis kali ini bisa The End..”, pikirku optimis membayangkan rencana cerdikku.
Ya, kebanyakan, nasib dari tugas-tugas dan ulangan-ulanganku aku serahkan pada Alif, sahabatku sejak SMP yang memang punya otak encer dan selalu masuk the big five di rangking kelas. Sebenarnya, dulu waktu awal SMP, aku pernah menjadi lawan bersaingnya dalam hal pelajaran. Kadang aku yang menang, kadang juga dia yang menang. Kami merasakan kompetisi yang sehat pada saat itu. Sekarang pun, kami masih sering bersaing dalam pelajaran, tapi bedanya, hanya Alif yang bekerja sedangkan aku menikmati cipratan hasilnya, yang justru sering lebih tinggi nilainya dibandingkan dengan hasil kerja keras murni dari Alif.  Kadang aku merasa tidak enak jika aku sering mendapat nilai lebih tinggi dari Alif. Tapi ya, tak apalah. Toh memang begitu kenyataannya.
***
Hampir satu setengah minggu aku menjalani hidupku dengan santai seolah tak ada beban pekerjaan dan tugas-tugas sekolah. Ya seperti itulah, nongkrong, band, game online, bolos, dan sejenisnya. Dan sepertinya aku masih di warung burjo malam itu ketika tiba-tiba Dito mengingatkanku pada tugas karya tulis Pak Yuniar.
“Bos, kamu udah ngerjain karya tulisnya Pak YR belum?” tanya Dito membuatku tersedak.
“Hah?! Karya tulis?” tanyaku penasaran.
“Halah, yang tentang Mendel-mendel itu lho. Yang waktu kita dulu gagal bolos itu…,” cletuk Ara sambil menginjak puntung rokoknya yang telah habis.
“Mati aku! Aku belum ngerjain! Kapan ngumpulinnya?!” tanyaku setengah kaget.
“Besok pagi jam pertama waktu pelajaran Biologi! Hahaha!! Belum ngerjain? Nekat banget kamu, Bro! Hahaha, aku sih udah pinjem filenya si Laras, tinggal ganti nama doang, selesai urusannya!” jawab Angga  menyindirku.
“Kalo aku sama Dito sih udah pinjem punya Ucik, Bos…,” tambah Ara.
“Yoi,coy…, urusan contek-mencontek? Beres laah..! Hahaha,” jawab Dito menanggapi Ara.
Dengan rokok yang masih ada di mulut, aku pun segera pergi dari tempat itu untuk menyelesaikan urusan karya tulis ini. Saat itu yang ada di pikiranku hanyalah Alif, sang penentu nasib. Rencananya, aku akan pergi ke rumahnya sekarang, lalu meminjam file karya tulisnya.
Jam di tangan kiriku yang menunjukkan angka 22.45, membuatku pesimis akan bertemu dengan Alif. Suasana lingkungan tempat Alif tinggal yang sudah terlihat sangat sepi semakin menambah rasa raguku untuk bertemu dengan sang penentu nasibku ini. Dan benar saja, ketika sudah sampai di depan rumah Alif, hanya keheningan yang aku temui. Pasti Alif dan keluarganya sudah terlelap, pikirku. Aku tidak enak bila harus mengetuk pintu rumah, meminjam file milik Alif, lalu pergi begitu saja dari situ. Akhirnya dengan sangat terpaksa, aku pergi dari rumah Alif, dan bertekad akan kembali besok pagi-pagi sekali ke rumahnya. Aku pulang dengan tangan hampa, lalu tidur dengan pikiran yang terus berkelana.
***
“Banguuunn Kaakk!!!” teriak seseorang di kupingku.
Dengan malas aku pun membuka mataku yang masih terasa sangat berat. Oh, rupanya adikku, Rendi yang membangunkanku. Aku pun segera melirik HPku untuk melihat jam. Tertulis, jam 06.03.
“Apaa??!! Sudah jam 6??!!!”, teriakku membuat Rendi kaget setengah mati.
Sial! Sial! Siaaalll!! Aku baru ingat kalau aku harus pergi ke rumah Alif sekarang! Dengan langkah seribu, aku pun segera mandi, bersiap-siap, kemudian segera kabur dari rumahku. Pasti Alif sudah berangkat sekolah sekarang, pikirku pesimis.
Sesampainya di rumah Alif, aku langsung menanyakan Alif kepada ibunya.
“Pagi, Bude. Alifnya udah berangkat belum ya?” tanyaku kepada Bude Rini, ibu Alif yang terlihat sedang menyapu.
“Ealah, kamu, le. Alifnya sakit. Kemarin dia nglembur tugas biologi apa gitu. Sampek jam 2 pagi baru tidur tu anak. Sebenernya, Bude juga kasihan lihat Alif ngerjainnya ngotot gitu, tapi ya emang gitu sih orangnya. Tapi ya gak papalah, yang penting berusaha. Masuk aja langsung ke dalem…,” jawab Bude Rini sambil menunjuk jendela kamar Alif.
Benar saja, ketika masuk ke kamar Alif, terlihat buku-buku biologi berserakan, kertas-kertas tersebar tidak karuan. Kopi yang tersisa sedikit di dasar gelas seakan menjadi saksi bisu kerja keras Alif. Dan yang membuatku cukup terenyuh adalah di meja utama tempat Alif biasanya belajar, masih terbuka Alkitab yang sudah terlihat kumal dan penuh dengan coretan. Alif terlihat berbaring dengan muka pucat. Dan mungkin karena kedatanganku, Alif menjadi terbangun.
“Sakit apa, Bos?” tanyaku pada Alif.
“Nggak tau nih, paling kecapekan ngerjain karya tulisnya YR. Yaahh.., tapi gak papalah. Yang penting udah berusaha maksimal,” jawab Alif degan mata sayu.
“Berarti punyamu udah jadi kan, Bos? Pinjem ya buat nyocokin sama punyaku. Aku masih bingung bagian landasan teorinya, Bos! Hehe…,” kataku berbohong.
“Oke coy…, nanti ijinin aku ke wali kelas ya. Sekalian nitip tolong kumpulin karya tulisku pas pelajaran Pak YR nanti...,” ujar Alif sambil memberiku karya tulisnya kepadaku.
“Siiaapp! Eh, ngomong-omong, karya tulismu yang masih bentuk file mana, Lif?” tanyaku penuh harap.
“Oo, aku belum sempet masukin ke flash disk, Bro. Ada di laptopnya bapakku, dan sekarang bapakku udah berangkat kerja...,” jawab Alif mengerutkan dahinya.
“Oo…, ya udah, Bos. Aku cabut dulu, cepet sembuh ya,bos! Makasih, sori ganggu, hehe…,” kataku sambil memasukkan karya tulis milik Alif ke dalam tas.
Gawat. Bagaimana aku bisa mengganti kata-kata dan nama dalam karya tulisnya Alif jika file mentahnya pun tak ada? Sekarang, yang ada di tanganku hanyalah lembaran karya tulis yang telah dijilid rapi. Hmm.., sepertinya satu-satunya jalan adalah menyerahkan karya tulis ini dengan mengatasnamakan aku. Ya memang, semula aku merasa tidak enak juga dengan Alif, tapi yaa.., apa boleh buat. Pilihannya cuma dua, kumpulkan atau mati. Dan kurasa, orang paling bodoh di dunia pun pasti akan menjawab…, kumpulkan!
Jam tanganku sudah berangka 06.48 ketika aku berada di kios komputer depan sekolahku untuk mengganti cover karya tulis Alif dengan cover namaku. Kupikir, Alif tak akan mungkin marah denganku, bilang saja karya tulisnya sudah aku serahkan ke Pak Yuniar. Dan jika nilai Alif tidak muncul, paling-paling Alif akan mengira karya tulisnya tak sengaja dihilangkan oleh Pak Yuniar. Mungkin karena terselip, jatuh, ketinggalan, atau sejenisnya.
Setelah melakukan kegiatan kriminal itu, dengan langkah pasti aku pun segera menuju ke kelas. Haahh.., dengan sedikit perjuangan di awali hari, akirnya aku bisa menyelesaikan tugas yang menurutku sangat berat ini. Tak seperti biasanya juga aku bisa datang ke sekolah dengan tidak terlambat. Sepertinya hari ini adalah hari keberuntunganku, dan keberuntungan pertama pastinya akan kualami  di awali pagi, di mana aku akan mendapat nilai yang bagus atas karya tulis”ku” ini.
“Mana karya tulismu?” tanya Pak Yuniar mengagetkanku dari belakang.
“Eh, sudah saya kerjakan kok Pak. I…, ini..,” kataku sambil mengeluarkan karya tulis Alif dari tasku, kemudian memberikannya ke Pak Yuniar.
“Hmm…, bagus juga topiknya. Apa kamu mengerjakan ini sendiri?” Tanya Pak Yuniar membuatku agak kaget.
“Iya. Saya mengerjakan sendiri kok, Pak…,hehe,” jawabku berbohong.
“Ngomong-ngomong, temanmu Alif ke mana? Kok tidak berangkat?” lanjut Pak Yuniar menunjuk bangku kosong di sebelahku.
“Oh, iya. Alif ijin karena sakit, Pak,” jawabku singkat.
Dan ya, seperti itulah akhir drama di pagi ini. Berawal dari perjuangan meminjam karya tulis Alif, penggantian nama penulis, hingga proses pengumpulannya yang mendebarkan. Siang ini, kututup pula jam sekolah dengan senyuman ketika aku melihat angka sembilan empat di kertas ulangan Matematikaku. Kesempurnaan hari ini makin terasa saja ketika aku pulang ke rumah. Sambutan hangat Ibu dan Ayahku, makan siang dan makan malam yang sungguh sedap, dan tawa yang pecah ketika kami sekeluarga makan bersama. Makanan enak hari ini ternyata bukan tanpa sebab, karena ternyata, ini semua adalah perayaan atas selesainya desertasi Ayah. Aku tahu, ayahku benar-benar bekerja keras untuk ini. Mulai dari kerja lembur tiap hari, referensinya yang menggunung, sampai pergi ke sana-kemari demi sebuah informasi yang pasti.
***
Beberapa hari setelah itu, kehidupanku kembali berjalan normal. Yaa.., biasa. Masih tentang datang terlambat, tugas, contek-mencontek, dan membolos tentu saja. Sampai kepada suatu siang yang mendung, tugas karya tulis biologi akhirnya dibagikan. Kau tahu hasilnya? Luar biasa! Aku mendapat nilai tertinggi di kelas! Sebuah tinta merah bertuliskan A+ seakan menghapus mendung yang sedang melanda langit siang ini.
“Weee.., selamat ya, Bos! Nilai tertinggi ya?” ucap Alif dengan riang sembari membolak-balik tumpukan karya tulis teman-temanku sekelas.
“Hahaha.., iya, Bro.., makasih..,” jawabku singkat.
“Wah, karya tulisku di mana ya? Kok dari tadi aku cariin gak ada?” gumam Alif menggaruk-garuk kepalanya. Aku hanya terdiam.
“Eh, Bro, ngomong-ngomong kamu nulis apaan sih kok bisa dapet A plus? Pinjem bentar dong, barang kali aku bisa belajar dari punyamu. Hehe..,” lanjut Alif sambil menarik karya tulisku pelan.
“Eh, tapi..,” kataku kaget saat melihat karya tulisku sudah ada di tangan Alif. Mati aku! Apa yang harus kukatakan pada Alif? Alif sekarang terlihat sedang membolak-balik halaman di karya tulisku itu! Suasana mendadak menjadi seperti kuburan, dingin dan sepi. Sampai pada suatu saat, Alif kembali menatapku dan tersenyum.
“Bos, kalau aja kamu ada di posisiku, kamu pasti bisa ngerti rasanya,” kata Alif sambil mengembalikan karya tulisku.
Bel tanda berakhirnya jam sekolah seakan memecah keheningan antara kami berdua. Alif segera mengambil tasnya, kemudian pergi meninggalkanku. Kembali aku duduk di bangku kelas yang perlahan mulai ditinggal para penghuninya ini. Hanya ada aku, gemuruh guntur, dan rintik hujan.  Entah mengapa, aku kemudian merasa sangat bersalah kepada Alif. Kata-kata terakhirnya kepadaku tadi benar-benar mengusik isi kepalaku. Ingin kulupakan saja seperti biasanya, tapi tak bisa. Dengan pikiran yang terus melayang, aku pun pulang dalam rintik hujan.
Sesampainya di rumah, aku pun segera melepas sepatu dekilku dan masuk begitu saja seperti biasanya.
“Buk, aku pulang…,” kataku sambil menenteng sepatuku. Sepi. Taka ada sambutan dari Ibuku seperti biasanya. Tapi, tunggu dulu. Tanpa sengaja, aku melihat Ibuku sedang duduk di ruang makan. Dan ternyata, ayahku juga sedang duduk di sana. Mereka terlihat saling diam dalam posisi duduk yang bersebrangan.
“Mengapa Ayah ada di sini? Bukankah dia biasanya masih bekerja dan baru pulang jam tujuh malam? Ada apa ini?” pertanyaan-pertanyaan seakan menghujaniku saat itu. Pikiranku masih penuh dengan pertanyaan sampai aku mendekat dan bertanya pada orang tuaku.
“Ibu ada apa?” tanyaku sambil menunduk mencoba melihat wajah Ibuku yang dari tadi pandangan matanya kosong.
“Eh, sudah pulang kamu, le. Haahh.., Ayahmu.., “kata Ibuku lirih sambil sekilas memandang ke arah Ayah.
“Ayah? Ayah kenapa?” tanyaku dengan penuh perasaan ingin tahu sambil melihat ke Ayah dan Ibuku. Telinga dan mata Ayah terlihat memerah. Raut wajahya pun tempak lebih tua dari biasanya.
“Desertasi Ayah diplagiat…,” jawab ayahku dengan suara berat.
“Apa, yah!?” jawabku kaget.
“Tapi Ayah kan sudah bekerja keras untuk itu?!” kataku seakan tak percaya. Aku ingat benar kejadian malam itu, ketika kami sekeluarga berdoa bersama sebelum makan malam. Pada saat itu, Ayah yang memimpin doa kami. Dalam doa, kami mengucapkan syukur yang teramat dalam atas penyertaan Tuhan sehingga Ayah bisa menyelesaikan desertasinya. Selesai berdoa, kulihat wajah ayah tampak sangat gembira. Tapi sekarang, tepat di ruang yang sama, wajah ayah benar-benar berubah 180 derajat.
“Tak apa, Ayah masih akan berusaha mengambil kembali hak Ayah itu. Itu hasil kerja keras Ayah, dan Ayah tahu tiap kerja keras dan doa yang Ayah lakukan tak akan kembali dengan sia-sia, “ kata Ayah tersenyum walau masih dengan wajah yang tampak terbebani.
Sepertinya.., cepat atau lambat, aku juga turut merasakan apa yang sedang Ayahku rasakan. Kesal, marah, dan geram tentu saja. Desertasi ini sangat berharga bagi Ayah. Coba bayangkan betapa kerasnya Ayah bekerja dan berapa waktu yang tersita. Semuanya itu seakan sekejap hilang menjadi tak ada artinya ketika kata “plagiat” datang. Tanpa kusadari, pikiranku tiba-tiba kembali terarah kepada seorang pribadi yang telah kulukai, Alif.
“…bos, kalau aja kamu ada di posisiku, kamu pasti bisa ngerti rasanya…”
Kata-kata terakhir Alif itu terus terngiang di telingaku. Ya Tuhan, apa ini rasanya ada di posisi Alif? Apa ini yang Alif rasakan selama ini? Aku berani bersumpah, ini sakit. Sungguh sakit! Rasanya seperti ladang yang kau tanam dengan keringatmu, dipanen oleh orang lain yang bahkan tak menjatuhkan keringat setetes pun di ladangmu itu!
“…nggak tau nih, paling kecapekan ngerjain karya tulisnya YR. Yaahh.., tapi gak papalah. Yang penting udah berusaha maksimal…”
Kata-kata Alif kembali menghujam pikiranku. Aku berani berkata jika aku sungguh malu melihat diriku sekarang ini. Bagaimana tidak malu, jika aku berperilaku layaknya seorang pencuri? Seorang pencuri yang bahkan tak punya harga diri dan tak akan pernah peduli bahkan menoleh pada perasan keringat korbannya. Aku merasa selama ini diriku seperti orang bodoh yang justru bangga berada pada jalur kehidupan yang salah. Mataku telah dibutakan oleh keinginanku yang menggebu akan nilai-nilai pelajaran yang tinggi, sehingga tak peduli cara apa yang aku tempuh, aku akan melakukannya walau harus “membunuh” sahabatku sekalipun. Lalu…, apa yang aku banggakan selama ini? Aku membanggakan sesuatu yang semu! Semua nilai-nilai tinggi yang selama ini aku dapat, sekarang artinya tak lebih dari sampah-sampah kertas yang siap dibakar. Tak terdapat cerminan diriku di lembaran-lembaran kertas itu. Hanya namaku, tapi bukan jiwaku. Itu semua keringat teman-temanku. Itu semua bukanlah aku! Itu semua palsu!
Aku tak tahu berapa lama tenggelam dalam lautan penyesalan ini sampai pada akhirnya aku mendengar kabar bahwa orang yang memplagiat desertasi ayahku telah tertangkap. Dan kau tahu siapa itu? Itu adalah teman dekat ayahku sendiri! Sekarang, dia telah dipecat dari pekerjaannya dan merasakan nikmatnya menginap di balik jeruji besi. Cemoohan dari seluruh rekan kerja dan juga masyarakat, serta rasa malu yang tak terkira, seakan menjadi hukuman sesungguhnya yang dia alami.
Aku bersyukur, aku bisa sadar akan tindakan salahku di masa mudaku ini. Dan sekarang, aku bertekad untuk memulainya lagi dari nol dan menjadi diri sendiri. Ya, aku tahu akan banyak rasa sakit yang akan kuderita nanti. Tapi biarlah, perubahan tak mungkin ada tanpa rasa sakit. Dan itulah pilihanku. Menjadi berbeda di tengah lautan keseragaman, kupikir tak ada salahnya. Pagi itu juga, kuputuskan untuk menyampaikan pengakuan.
“Pak, karya tulis yang saya kumpulkan kemarin…, itu bukan milik saya. Itu bukan buatan saya,” kataku dengan yakin.
“Orang di sebelah saya inilah yang membuatnya, Pak. Alif,” lanjutku mantap. Mendengar hal itu, Alif hanya tersenyum padaku. Dan menurutku, itu sudah lebih dari cukup untuk membuatku lega. Misi pertama terselesaikan, misi kedua, menghadapi hukuman dari Pak Yuniar…, siap kutelan.
Sudah kuputuskan, mulai saat ini aku adalah manusia seutuhnya, yang akan memberikan semua usaha, keringat, dan jiwaku, bukan usaha, keringat, dan jiwa temanku! Aku ingin menjadi tiang, dan bukan bendera yang hanya mengikuti ke mana angin bertiup. Aku akan berjuang dengan usahaku sendiri, dengan penuh kejujuran. Ya, kejujuran yang akan membawaku untuk menjadi diriku sendiri, apa adanya.***

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More