who am I?

Danang Adi Wiratama adalah arsitek yang ada di balik layar ARSITEKETEK.

my brother

duta.

me and my gun

smile to my gun and I'll shot you

Nikon D3100, Beauty in Intelligent

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

danangphotography_

"foto berwarna memanjakan mata, foto hitam-putih memanjakan jiwa"

Sabtu, 10 Maret 2012

Like It, then Make It

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgo1J8Gkv2Ej-W7W9-l6XQoe5NOeQEPSy9uJoQKELzFZJkocsu2hhCeVFXQT79Rjx6NkqrTXWtG9UeZbI0cmgE1BNJ7mlFW_QnNnZu64X07quoWPvcbXPJW77h7ne1k3OBbwYGSkvpUgE2f/s1600/i+like+it.jpg


Pernahkah anda mengalami hal sejenis ini :
Anda pernah diperintah Ibu Anda untuk mengambilkan pisau di dapur padahal Anda sedang asyik bermain dengan video game Anda. Lalu dengan terpaksa dan menggrutu, Anda pun menuruti perintah Ibu Anda. Setelah sampai di dapur, dengan hati yang panas, Anda mulai mencari pisau ke sana ke mari, ke arah sana dan sini. Tapi hasilnya, Anda tidak bisa menemukan pisau itu. Anda pun menggerutu pada Ibu Anda. Lalu kemudian Ibu Anda mendatangi Anda, dan dengan tersenyum berkata : “Pisaunya ada di depan kamu persis, kok kamu bisa gak tau?”

Pembaca sekalian, mungkin kita tidak sadar betapa seringnya kita berada dalam situasi seperti itu. Menggelikan memang, tapi itulah diri kita. Betapa sulitnya seorang pelajar SMA menyelesaikan soal Matematika padahal jalan keluarnya sangat sederhana. Betapa ribetnya jalan pikir seorang pebisnis memikirkan anggaran padahal peluang ada di depan mata. Dan betapa kita mendadak “buta” terhadap setiap jalan keluar yang begitu lebar terbuka.

Apa yang menyebabkan si anak tidak bisa menemukan pisau ibunya di dapur, bisa menjadi perenungan kita. Si anak memang sejak awal tidak suka dengan pekerjaan yang ditawarkan ibunya. Tapi pada akhirnya karena “rasa tidak enak”, sang anak pun terpaksa melakukannya. Akibat mood yang setengah-setengah (atau bahkan tidak ada), sang anak tampak sangat kesulitan mencari jalan keluar dari tugasnya.

Kita juga demikian. Sering kita melakukan berbagai tugas dan pekerjaan dengan penuh keterpaksaan. Tidak ada “will” dari dalam. Yang ada hanyalah “will” dari orang tua, teman-teman, lingkungan,  perusahaan, atau bahkan sistem yang membelenggu. Akibatnya pekerjaan-pekerjaan kita terasa sangat berat dan berjalan lambat. Kesulitan-kesulitan semakin menumpuk dan segala pintu keluar menjadi buntu. Betapa malunya kita jika kemudian ada orang lain datang dan memberitahukan bahwa alangkah mudahnya solusi yang (memang) sejak awal sudah tersedia gamblang di depan mata.

Disadari atau tidak, kita sering mengabaikan makna dari sebuah kata “awal”, sebuah kata yang ternyata justru sangat menentukan masa depan. Yang penting pekerjaan selesai. Itu saja. Namun kenyataannya, apakah pekerjaan itu benar-benar selesai secara maksimal?

Di sini saya menyadari betapa pentingnya menentukan sikap di awal setiap pekerjaan. Bagaimana sebisa mungkin kita menghilangkan kata “keterpaksaan” dan menggantinya dengan “kesukaan”. Menggali “will” yang berasal dari dalam diri kita sendiri, dan kemudian beraksi.

Anda tentu bisa membayangkan bagaimana jika dalam ilustrasi saya tadi, sang ibu bukan memerintahkan anaknya untuk mengambilkan pisau di dapur, tapi justru menyuruh anaknya untuk bermain video game sepuasnya. Tentu sang anak akan sangat senang dan tambah bersemangat dalam menyelesaikan setiap permainan yang ada di dalam video gamenya.

Demikian juga kita, jika kita menyikapi setiap dari pekerjaan kita secara semangat dan antusias, hasilnya kita akan benar-benar dapat menyelesaikannya secara tuntas. Jalan keluar akan seolah mengantre pada kita dan menunggu untuk diaplikasikan. Di dalam kondisi yang serba menjepit pun, kreatifitas kita akan bekerja secara optimal mencari solusi-solusi unik yang dapat kita gunakan. Inilah yang menjadi kunci bagi mereka yang sering kita lihat sangat produktif, tak pernah kekurangan ide, dan selalu dapat menemukan solusi dari masalah-masalahnya.

Karena orang yang berusaha “menyukai terlebih dahulu” pekerjaannya, akan mudah menemukan jalan keluar sekalipun dalam situasi yang serba menekan. Sementara yang “terpaksa” akan sukar menemukannya walaupun jalan keluar ada di depan mata.


Sabtu, 03 Maret 2012

Jadi Anak Kecil

http://fc05.deviantart.net/fs70/i/2010/072/8/d/little_superman_by_davidmzuber.jpg

Saya masih ingat akan masa kecil saya. Sebuah masa di mana segala sesuatu adalah mungkin terjadi. Saya ingat waktu saya mengikatkan selimut di leher, saya menjadi seorang Superman. Waktu saya menaiki sapu yang saya pinjam dari ibu saya, saya menjadi seorang penyihir. Dan juga, saya ingat ketika saya memanjat pohon tanpa berpikir bahwa saya mungkin bisa terjatuh. Saya hanya mempunyai sebuah ide, lalu melakukanya. Itu saja. Saya berpikir bahwa waktu itu diri saya adalah seorang anak yang kreatif dan penuh percaya diri.

Ketika saya beranjak dewasa, keadaannya terasa sedikit berbeda. Sewaktu saya akan menempuh suatu ujian, timbul perasaan bahwa ujian yang saya hadapi akan begitu sulit dan saya tidak akan mampu mengerjakannya. Sewaktu saya memperoleh peluang yang menjanjikan untuk berprestasi, orang-orang mulai berkata tentang resiko, kemudian itu membuat saya merasa mereka benar dan saya harus menunda peluang ini. Sewaktu saya memikirkan tentang masa depan, sering kali saya berpikir itu hanyalah mimpi dan saya tidak akan pernah mencapainya. Saya percaya saya masih seorang yang kreatif, tapi dengan sedikit keraguan.

Sering kita melihat orang lain yang mempunyai ide yang sama dengan kita, menjadi seorang yang berhasil. Kemudian kita mulai bertanya bagaimana mungkin dia bisa melakukannya? Mengapa harus dia? Ada rasa sesal mengapa kita tidak mengambil peluang itu dulu. Apa yang membuat mereka berbeda dengan kita adalah karena aksi mereka membawa mimpi mereka menjadi kenyataan.

Kekhawatiran membuat kita tak berdaya. Sekali kita maju satu langkah, kekhawatiran siap datang dan membawa kita mundur dua langkah. Kekhawatiran inilah juga yang membuat kita merasa tertekan ketika masalah datang. Ketika dihadapkan dengan suatu peluang, rasa khawatir siap menghujani dengan berbagai pikiran kemungkinan terburuk tentang apa yang akan terjadi di depan sana. Akibatnya, pikiran kita pun menjadi tidak jernih dan ini seolah menutup segala “jalan” solusi yang bisa kita lakukan. Kekhawatiran akan membuat kita seperti memakai kacamata kuda dimana kita hanya akan mampu melihat satu pintu yang tertutup sementara kita tidak mampu melihat ke pintu-pintu lain yang terbuka lebar.

Kekhawatiran adalah seperti orang yang hendak mencapai suatu tempat melalui sebuah terowongan. Sebelum memasukinya, orang itu melihat ke arah ujung terowongan dan mengetahui bahwa tempat di ujung terowongan itu lah yang sedang dia tuju. Namun ketika baru beberapa langkah, perhatian orang itu bukan lagi ke tempat di ujung terowongan, tetapi terowongan itu sendiri. Dia pun berhenti melangkah dan melihat betapa gelap dan panjangnya terowongan itu.

Sering kali hidup kita juga seperti itu. Ketika masalah datang, kita akan merasa bisa mengatasinya. Namun ketika kita mulai mengambil aksi, timbullah keraguan. Pikiran-pikiran kita tak lagi terarah pada jalan keluar, tetapi justru kepada masalah itu sendiri. Bukannya selesai, kita malah semakin berputar-putar dan terpenjara dalam masalah kita.

Satu cara

Jika begini persoalannya, hanya ada satu jalan keluar. Itu adalah kembali pada “Sang Penguji Manusia”. Mungkin bagi orang zaman sekarang anggapan ini sudah dianggap sangat klasik, karena mereka pun juga selalu mendengar hal ini melalui rekannya yang juga mengalami permasalahan hidup sama dengannya. Namun percayalah, jika hal “klasik” ini bila benar-benar dihayati dan tidak dipandang sebatas slogan, ini akan memberikan pengaruh yang sangat besar bagi kehidupan kita.

Suatu saat saya pernah mengalami depresi yang begitu hebat. Tugas-tugas yang menumpuk, serbuan deadline yang deras menghujani, dan “gesekan” dengan beberapa rekan mulai membuat badan saya kalah dan jatuh sakit. Beberapa teman menyarankan agar saya beristirahat dan melakukan wisata singkat untuk meringankan pikiran saya yang berat. Namun sialnya, tak ada satu pun dari cara itu yang benar-benar berhasil memulihkan kondisi pikiran saya.

Di dalam pikiran khawatir saya, akhirnya saya mencoba mendekat pada-Nya dengan perenungan dan doa-doa singkat. Dan memang ajaib, pikiran-pikiran saya mulai mengalir secara lambat, lembut, dan firman-firmanNya seolah mendinginkan isi kepala saya yang sebelumya bergerak cepat, mendidih dan hendak tumpah. Walaupun masalah saya sama sekali tidak berkurang, namun setidaknya beban pikiran saya mulai berkurang dan menjadi ringan. Ada perasaan lega dan sejuk di dalam dada. Satu-persatu pekerjaan terselesaikan secara cepat dan tepat, tanpa itu menjadi baban yang merantai diri saya.

Dari sejak itulah, saya tidak lagi memandang ringan “slogan” “kembali pada-Nya”, karena memang saya merasakan sendiri betapa kuasa Tuhan jauh lebih besar daripada problematika yang sebelumya kita anggap paling besar itu. Ingatlah kembali ketika kita masih anak kecil. Ingatlah kembali betapa mudahnya kita menjadi seorang Superman dan penyihir sapu terbang. Ingatlah kembali bagaimana ringannya kita memanjat sebuah pohon tanpa ada rasa takut sedikitpun. Ingatlah kembali bagaimana segala sesuatu adalah mungkin terjadi. Dan ingatlah selalu bahwa tidak ada yang tidak mungkin bagi mereka yang senantiasa hidup berserah kepada-Nya. Serahkan kuatirmu, dapatkan kelegaanmu, dan raih mimpimu! (ARSTKTK)




Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More