Sabtu, 10 Maret 2012

Like It, then Make It

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgo1J8Gkv2Ej-W7W9-l6XQoe5NOeQEPSy9uJoQKELzFZJkocsu2hhCeVFXQT79Rjx6NkqrTXWtG9UeZbI0cmgE1BNJ7mlFW_QnNnZu64X07quoWPvcbXPJW77h7ne1k3OBbwYGSkvpUgE2f/s1600/i+like+it.jpg


Pernahkah anda mengalami hal sejenis ini :
Anda pernah diperintah Ibu Anda untuk mengambilkan pisau di dapur padahal Anda sedang asyik bermain dengan video game Anda. Lalu dengan terpaksa dan menggrutu, Anda pun menuruti perintah Ibu Anda. Setelah sampai di dapur, dengan hati yang panas, Anda mulai mencari pisau ke sana ke mari, ke arah sana dan sini. Tapi hasilnya, Anda tidak bisa menemukan pisau itu. Anda pun menggerutu pada Ibu Anda. Lalu kemudian Ibu Anda mendatangi Anda, dan dengan tersenyum berkata : “Pisaunya ada di depan kamu persis, kok kamu bisa gak tau?”

Pembaca sekalian, mungkin kita tidak sadar betapa seringnya kita berada dalam situasi seperti itu. Menggelikan memang, tapi itulah diri kita. Betapa sulitnya seorang pelajar SMA menyelesaikan soal Matematika padahal jalan keluarnya sangat sederhana. Betapa ribetnya jalan pikir seorang pebisnis memikirkan anggaran padahal peluang ada di depan mata. Dan betapa kita mendadak “buta” terhadap setiap jalan keluar yang begitu lebar terbuka.

Apa yang menyebabkan si anak tidak bisa menemukan pisau ibunya di dapur, bisa menjadi perenungan kita. Si anak memang sejak awal tidak suka dengan pekerjaan yang ditawarkan ibunya. Tapi pada akhirnya karena “rasa tidak enak”, sang anak pun terpaksa melakukannya. Akibat mood yang setengah-setengah (atau bahkan tidak ada), sang anak tampak sangat kesulitan mencari jalan keluar dari tugasnya.

Kita juga demikian. Sering kita melakukan berbagai tugas dan pekerjaan dengan penuh keterpaksaan. Tidak ada “will” dari dalam. Yang ada hanyalah “will” dari orang tua, teman-teman, lingkungan,  perusahaan, atau bahkan sistem yang membelenggu. Akibatnya pekerjaan-pekerjaan kita terasa sangat berat dan berjalan lambat. Kesulitan-kesulitan semakin menumpuk dan segala pintu keluar menjadi buntu. Betapa malunya kita jika kemudian ada orang lain datang dan memberitahukan bahwa alangkah mudahnya solusi yang (memang) sejak awal sudah tersedia gamblang di depan mata.

Disadari atau tidak, kita sering mengabaikan makna dari sebuah kata “awal”, sebuah kata yang ternyata justru sangat menentukan masa depan. Yang penting pekerjaan selesai. Itu saja. Namun kenyataannya, apakah pekerjaan itu benar-benar selesai secara maksimal?

Di sini saya menyadari betapa pentingnya menentukan sikap di awal setiap pekerjaan. Bagaimana sebisa mungkin kita menghilangkan kata “keterpaksaan” dan menggantinya dengan “kesukaan”. Menggali “will” yang berasal dari dalam diri kita sendiri, dan kemudian beraksi.

Anda tentu bisa membayangkan bagaimana jika dalam ilustrasi saya tadi, sang ibu bukan memerintahkan anaknya untuk mengambilkan pisau di dapur, tapi justru menyuruh anaknya untuk bermain video game sepuasnya. Tentu sang anak akan sangat senang dan tambah bersemangat dalam menyelesaikan setiap permainan yang ada di dalam video gamenya.

Demikian juga kita, jika kita menyikapi setiap dari pekerjaan kita secara semangat dan antusias, hasilnya kita akan benar-benar dapat menyelesaikannya secara tuntas. Jalan keluar akan seolah mengantre pada kita dan menunggu untuk diaplikasikan. Di dalam kondisi yang serba menjepit pun, kreatifitas kita akan bekerja secara optimal mencari solusi-solusi unik yang dapat kita gunakan. Inilah yang menjadi kunci bagi mereka yang sering kita lihat sangat produktif, tak pernah kekurangan ide, dan selalu dapat menemukan solusi dari masalah-masalahnya.

Karena orang yang berusaha “menyukai terlebih dahulu” pekerjaannya, akan mudah menemukan jalan keluar sekalipun dalam situasi yang serba menekan. Sementara yang “terpaksa” akan sukar menemukannya walaupun jalan keluar ada di depan mata.


0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More